BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Konsep Khlifah Islamiyah
Secara etimologis,
kata khilafah berarti perwakilan, penggantian. Dalam sejarah, khilafah dikenal
sebagai institusi politik Islam pengganti atau penerus fungsi Rasulullah SAW sebagai pembuat syara’
dalam urusan agama dan politik. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa sinonim khilafah
adalah imamah, yang berkaitan dengan fungsi Rasulullah SAW oleh seseorang untuk
memelihara agama dan dunia[1]. Sementara
itu, Al-Baidhawi dan Al-Iiji memberikan unsur tambahan dalam mendefinisikan
khilafah, yaitu adalah kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikuti dan
tunduk pada orang yang dipilih dan diangkat sebagai pengganti dalam menjalankan
tugas kenabian tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan definisi imamah sebagai proses
seorang umat Islam dalam menggantikan tugas Rasulullah untuk menegakkan
pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, dimana ada kewajiban bagi
seluruh umat islam untuk mengikuti atau tunduk kepadanya.[2]
Menurut pandangan
sebagian ulama, khilafah adalah pengganti fungsi Rasulullah S. A. W. yang di
saat hidupnya menangani masalah-masalah keagamaan yang diterimanya dari Allah
SWT, dan bertugas memelihara pelaksanaan ajaran agama dan mengurus persoalan
politik keduniaan. Oleh karena itu, ketika Rasulullah S. A. W. wafat, para
khalifah pun menjadi penggantinya dalam memelihara kelestarian ajaran agama dan
urusan politik keduniaan. Orang yang melaksanakan fungsi itu pun disebut
khalifah atau imam. Disebut dengan imam karena disepadankan dengan kedudukan
seorang imam shalat dalam hal kepemimpinan dan mesti diikuti.[3]
Berdasarkan uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud khilafah di sini adalah sebuah
sistem pemerintah Islam sebagai pengganti Rasulullah S. A. W. dalam fungsinya
menerapkan syari’at Islam dan mengurus persoalan politik keduniaan. Sistem
khilafah juga berbeda dengan sistem pemerintahan lainnya dilihat dari dasar,
standar, konsep maupun fungsinya. Khilafah merupakan bentuk negara/pemerintah
universal yang meliputi seluruh dunia Islam yang mengintegrasikan agama dan
politik, sehingga Negara merupakan lembaga politik sekaligus agama (al-din wa
al-daulah). Khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk
menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam. Khilafah juga berfungsi
mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Artinya, khilafah merupakan sistem
sebagai pengemban dakwah pengganti Rasulullah S.A.W.[4]
Model pemerintahan
ini memiliki ciri khas menjalankan syariat Islam dan jabatan kepala negara dipegang oleh seorang
khalifah yang diangkat oleh umat muslim melalui baiat atau sumpah setia kepada
khalifah selama khalifah tersebut menjalankan syariat Islam. Syariat tersebut
dipandang sebagai alat koreksi jika suatu waktu khalifah hendak melenceng dan
meluruskannya dari penyimpangan. Sebagian berpendapat jika khalifah melakukan
penyimpangan maka ia harus dicopot dari kekhilafahannya.[5]
Menurut ajaran
Islam, untuk mengatakan bahwa suatu pemerintahan dapat disebut khilafah Islamiyah
atau Negara Islam harus memenuhi beberapa prinsip dan kriteria :
a)
Prinsip
pertama yang harus diyakini dan dipegangi adalah bahwa seluruh kekuasaan di
bumi ini ada pada Allah, karena Dia lah yang menciptakannya.
b)
Prinsip
kedua adalah bahwa syariah Islam telah ditetapkan Allah untuk membimbing umat
manusia dalam menjalankan fungsi khilafahnya di bumi ini.
Berdasarkan
kedua prinsip tersebut, suatu negara yang diatur menurut syariah Islam secara teknis
disebut khilafah Islamiyah atau dar al-Islam.[6]
Berdasarkan prinsip bahwa kekuasaan dan kedaulatan mutlak ada pada
Allah, maka negara Islam harus menjunjung tinggi syariah Islam. Selanjutnya,
karena masyarakat Muslim (ummah) harus diperintah menurut hukum atau aturan
Islam (syariah), dengan demikian menuntut adanya pemimpin (khalifah) yang akan
melaksanakan dan menjalankannya. Tanggung jawab seorang khalifah atau kepala
negara adalah melaksanakan syariah Islam dengan dipandu oleh tujuan pembentukan
negara Islam (khilafah Islamiyah) yaitu menuju kebahagiaan (falah). Negara atau
khilafah menjadi sarana untuk mengantarkan masyarakat Muslim mencapai
keberhasilan baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Adapun prinsip-prinsip
yang harus dipegangi ketika menjalankan pemerintahan adalah prinsip musyawarah,
keadilan, persamaan hak, kemerdekaan, dan
solidaritas.[7]
2.2 Pengertian dan Hukum Menegakkan Khilafah Islamiyah Pesrpektif Hizbut Tahrir
Menurut Hizbut
Tahrir, Islam telah menetapkan sekaligus membatasi bentuk pemerintahan dengan
sistem khilafah. Sistem khilafah ini satu-satunya sistem pemerintahan bagi daulah
Islam. Sistem khilafah berbeda dengan sistem pemerintahan yang lain, seperti
disebutkan dalam kitab Nidham alHukm fi al-Islam, yang merupakan rujukan utama
Hizbut Tahrir dalam memperjuangkan politiknya bahwa “.... Sistem
pemerintahan dalam Islam adalah sistem khilafah. Sistem khilafah adalah
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia
.... “[8]
Hizbut Tahrir menegaskan
bahwa mendirikan khilafah hukumnya fardlu kifayah bagi seluruh umat Islam. Yang
dimaksud fardlu kifayah adalah jika sebagian muslim telah benar-benar selesai
melakukan tugas tersebut maka sebagian muslim lainnya gugur kewajibannya. Dalam
kaitannya dengan khilafah dan fardlu kifayah ini, Hizbut Tahrir menegaskan
bahwa sekalipun menegakkan khilafah Islamiyah adalah wajib kifayah, selama
khilafah belum berdiri maka setiap individu muslim yang mukallaf berkewajiban
menegakkannya tanpa pandang bulu hingga khilafah benar-benar berdiri. Selama
khilafah belum berdiri, maka semua kaum muslim terkena kewajiban tersebut[9].
2.3. Konsep Negara Pancasila dan isi kandungan Pancasila
Setiap warga
negara di dunia ini mempunyai dasar negara yang dijadikan landasan dalam
menyelenggarakan pemerintah negara. Seperti Indonesia, Hal tersebut sesuai
dengan bunyi pembukaan UUD 1945,yang berbunyi : “Maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan
negara”. Dengan demikian kedudukan pancasila sebagai dasar negara termaksuk
secara yuridis konstitusional dalam pembukaan UUD 1945, yang merupakan cita-cita
hukum dan norma hukum yang menguasai hukum dasar negara RI dan dituangkan dalam
pasal-pasal UUD 1945 dan di atur dalam peraturan perundangan.
Selain bersifat yuridis konstitusional, pancasila juga bersifat yuridis
ketatanegaraan yang artinya pancasila sebagai dasar negara, pada hakikatnya
adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum. Artinya segala peraturan
perundangan secara material harus berdasardan bersumber pada pancasila. Apabila
ada peraturan (di dalam nya UUD 1945) yang bertentangan dengan nilai-nilai
luhur pancasila, maka sudah sepatutnya peraturan tersebut dicabut. Berdasarkan
uraian tersebut pancasila sebagai dasar negara mempunyai sifat imperatif atau
memeksa, artinya mengikat dan memaksa setiap warga negara untuk tunduk kepada
pancasila dan bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran harus ditindak sesuai
hukum yang berlaku di Indonesia serta bagi pelanggar dikenakan sanksi-sanksi
hukum.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila memiliki sifat
obyektif-subyektif. Sifat subyektif maksudnya pancasila merupakan hasil
perenungan dan pemikiran bagsa Indonesia, sedangkan obyektif artinya nilai
pancasila sesuai dengan dan bersifat universal yang diterima oleh bangsa-bangsa
bekenyataan radab. Oleh karena memiliki nilai obyektif-universal dan diyakini
kebenaran nya oleh seluruh bangsa Indonesia maka pancasila selalu dipertahankan
sebagai dasar negara.
Jadi berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pancasila sebagai dasar nya negara memiliki peranan yang sangat penting dalam
mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga cita-cita para pendiri
bangsa indonesia dapat terwujud. Bagi bangsa indonesia hakikat yang
sesungguhnya dari pancasila adalah sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai
dasar negara. Kedua pengertia tersebut sudah selayaknya kita pahami akan
hakikatnya. Berikut ini adalah
nilai-nilai yang terkandung dalam isi Pancasila :
1. Sila Pertama “Ketuhanan
Yang Maha Esa”
Sila pertama ini ditetapkan sebagai alternatif
dari pembentukan Islam. Sila pertama ini menjamin hak-hak pemeluk agama lain,
sejauh agama itu diakui oleh negara[10].
Membangun Indonesia merdeka bukan berdasar atas kesamaan keagamaan, tetapi
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menganugerahi bangsa Indonesia
dengan kemerdekaan. Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa meskipun
Indonesia bukan negara agama, tetapi agama merupakan nilai luhur yang dijunjung
tinggi dalam penyelenggaraan negara. Penduduk yang beragama tentu memiliki
ajaran luhur yang menjadikan pemeluknya selalu berada dalam kebaikan dan
kebenaran selama mengikuti ajaran agamanya.
Indonesia bukanlah negara sekuler yang tidak
mengakui agama dalam pemerintahannya, dan bukan negara agama yang menjadikan
agama mayoritas sebagai agama negara. Melainkan, sebagai negara berketuhanan
Yang Maha Esa yang mengakui agama sebagai spirit dalam penyelenggaraan negara. Keselarasan sila pertama Pancasila dengan syariat Islam terlihat dalam
alQur’an yang mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan, seperti
dalam Surat al-Baqarah, ayat 163 yang memiliki arti; “Dan Tuhan kamu itu
adalah Tuhan Yang Maha Esa . Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Murah,
lagi Maha Penyayang”. Konsep ini menunjukkan bahwa dasar kehidupan bernegara
rakyat Indonesia adalah ketuhanan. Di
dalam Islam, konsep ini biasa disebut hablum min Allah yang merupakan esensi
dari tauhid berupa hubungan manusia dengan Allah Swt.
2. Sila Kedua “Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab”
Sila kedua dari Pancasila ini menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat dalam diri
pribadi manusia tanpa terkecuali. Jika hubungan manusia dengan Tuhannya
ditunjukkan pada sila pertama, maka hubungan sesama manusia ditunjukkan pada
sila kedua. Konsep Hablum min an-nass (hubungan sesama manusia) dalam bentuk
saling menghargai sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang beradab.
Tidak ada perbedaan dalam hak dan kewajiban sebagai sesama manusia ciptaan
Tuhan, artinya tidak boleh ada diskriminasi antar umat manusia. Berperilaku
adil dalam segala hal merupakan prinsip kemanusian yang terdapat dalam sila
kedua Pancasila, prinsip ini terlihat dalam ayat al-Qur’an surat al-Maa’idah,
ayat 8 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran). Karena Allah, menjadi saksi
dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendo
rong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
3. Sila Ketiga “Persatuan
Indonesia”
Persatuan Indonesia yang merupakan bunyi sila
ketiga Pancasila menunjukkan kepada dunia bahwa persatuan merupakan dasar
dibentuknya negara Indonesia. Persatuan Indonesia bukan dalam arti sempit saja,
tetapi dalam arti luas bahwa seluruh penduduk Indonesia diikat oleh satu
kesatuan geografis sebagai negara Indonesia. Adapun konsep persatuan dalam
bingkai ajaran Islam meliputi Ukhuwah Islamiyah (persatuan sesama muslim) dan
juga Ukhuwah Insaniyah (persatuan sebagai sesama manusia). Kedua konsep
tersebut hendaknya berjalan beriringan agar tercipta masyarakat yang harmonis
dan jauh dari perpecahan dan pertikaian karena perbedaan agama, suku, maupun
ras. Islam selalu menganjurkan pentingnya persatuan sebagaimana tercantum dalam
al-Qur’an; “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu,
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 10).
4. Sila Keempat ”Kerakyatan
yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan”
Sila keempat Pancasila yang menekankan
pentingnya kehidupan yang dilandasi oleh musyawarah memang selaras dengan nilai
luhur dalam ajaran Islam. Sikap bijak dalam menyelesaikan suatu masalah adalah
dengan bermusyawarah. Musyawarah merupakan jalan terbaik dalam mencari solusi
dimana masing-masing pihak berdiri sama tinggi tanpa ada perbedaan. Hasil dari
musyawarah pun merupakan kesepakatan bersama yang harus dijalankan dengan penuh
keikhlasan. Konsep Islam mengenai musyawarah dalam menyelesaikan sebuah
permasalahan dikenal dengan nama syuura (musyawarah). Konsep ini tercermin
dalam beberapa surat dalam al-Qur’an, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. asySyuura [42]: 38).
5. Sila Kelima; Keadilan Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia Dalam setiap sila Pancasila ternyata mengandung
nilai-nilai keislaman, sebagaimana sila kelima yang mengisyaratkan adanya
keadailan dalam proses penyelenggaraan negara. Keadilan yang dapat dirasakan
oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali oleh adanya perbedaan agama,
ras, dan sebagainya. Ajaran Islam memuat berbagai konsep mengenai keadilan,
baik adil terhadap diri sendiri maupun orang lain. Sebagai agama yang rahmatan
lil alamin, misi besar Islam adalah implementasi keadilan dalam segala sendi
kehidupan. Oleh sebab itu, Islam memerintahkan umat muslim untuk selalu berbuat
adil dalam segala hal dan menghindari pertikaian serta permusuhan agar tatanan
sosial masyarakat dapat tercipta dengan baik. Sila kelima yang menekankan pada
keadilan sosial sejatinya merupakan cerminan dari konsep Islam mengenai
keadilan. Mengenai keadilan dalam ajaran Islam dapat dilihat pada al-Qur’an; “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S.
anNahl [16]: 90).
2.4 Khilafah Islamiyah di Dunia Modern
(Indonesia)
Realitas
masyarakat dunia saat ini telah diwarnai penguatan ideology keagamaan, etnis,
dan nasionalisme kebangsaan. Tesis Huntington yang telah dijelaskan sebelumnya
memperlihatkan bahwa benturan antar peradaban akan mengarah pada konflik
berkepanjangan antara Timur dan Barat. Penguatan sentimen etnis dan agama
adalah pemicu yang paling besar dan itulah yang akan menghambat jalannya konsep
kekhilafahan di era sekarang ini.
Aktifis Jaringan Islam Liberal (JIL) ini membantah pernyataan dan
keyakinan dari HTI mengenai konsep negara Islam. Menurutnya, Khilafah Islamiyah
bukan hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk
diselenggarakan. Alasan ketidakrelefanan penggunaan pemerintahan Khalifah
Islamiyah:
1. Amat tidak mudah mencari
rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat Islam yang menyebar di
sejumlah kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung oleh HTI adalah hanya
salah satu rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani, yang belum tentu diamini oleh
para ulama yang lain. Dalam konteks Indonesia, agak sulit dibayangkan bagaimana
umat Islam bisa satu kata untuk menerima satu konsep mengenai khilafah.
Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, atau yang
lainnya? Cukup pelik memang menghadirkan konsep khilafah dalam konteks sekarang.
Bahkan jauh-jauh hari, NU dan Muhammadiyah telah bersuara bahwa Indonesia
dengan Pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final. Khilafah tidak
pernah dipertimbangkan oleh kedua ormas Islam terbesar itu.[11]
2. jika khilafah merupakan
lanskap atau wadah untuk memformalisasikan syariat Islam, maka pertanyaan
sederhananya adalah syariat Islam yang mana? Syariat dalam tafsir siapa?
Sebagaimana dikatakan Ibn ‘Aqil, bukankah syariat itu amat beragam, sekalipun
agama tetap satu? Al-din wahid waal-syari’atu mukhtalifah. Memformalisasikan
satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan syariat Islam yang lain. Alasan
ini kiranya yang menyadarkan seorang tokoh sekelas Imam Malik ketika menolak
tawaran khalifah saat itu untuk menjadikan al-Muwaththa`, salah satu karyanya,
menjadi konstitusi negara (daulah).
3. Ketiga, khilafah tidak
memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah banyak menunjukkan perihal
kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah. Betapa dari empat Khulafa`
Rasyidun, tiga di antaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi
Thalib) mati terbunuh justru ketika konsep khilafah itu diterapkan. Peperangan
onta (waq’ah al-jamal) yang melibatkan Ali ibn Abi Thalib (menantu sekaligus
sepupu Nabi) dan Siti Aisyah (istri Muhammad SAW) telah menelan korban nyawa
yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan menghukum para intelektual muslim
brilian juga terjadi dalam dunia khilafah. Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah
bukanlah konsep yang ideal. Ia telah gagal justru pada saat uji cobanya yang
pertama.[12]
Khilafah merupakan sistem pemerintahan yang
bersifat universal yang meliputi seluruh dunia Islam yang mengintegrasikan
agama dan politik, sehingga negara merupakan lembaga politik sekaligus agama.
Sistem khilafah tersebut tidak pas diterapkan di Indonesia, bahkan sudah tidak
relavan untuk kondisi sekarang, sebab negara-negara Islam atau yang berpenduduk
mayoritas muslim sudah mapan dengan nation state. Meskipun sistem khilafah
ideal karena dapat mempersatukan dunia Islam, tetapi sulit diwujudkan atau
sebagai konsep ideal utopis. Islam tidak mewajibkan untuk menerapkan sistem
khilafah. Tidak terdapat satu pun ayat al-Qur’an maupun hadits yang mewajibkan
umat Islam untuk mendirikan khilafah. Yang diperintahkan oleh Islam adalah
mendirikan imamah (kepemimpinan), dan imamah bentuknya tidak harus khilafah,
tetapi disesuaikan dengan situasi dan perkembangan politik yang ada sehingga
relevan.[13]
2.5 Hukum Menegakkan Sistem Khalifah Islamiyah
Di Indonesia
Dari
beberapa teori atau pembahasan yang sudah disinggung diatas, dapat di ambil
suatu hukum, bahwasannya di dalam suatu negara Indonesia yang berideologi atau
berlandaskan Pancasila dalam suatu pemerintahannya yang Demokrasi, hukumnya tidak wajib menegakkan atau mengganti
suatu dasar negara Indonesia dengan sistem
Khalifah Islamiyah, karena dasar Pancasila yang sistem pemerintahannya bersifat
demokrasi sudahlah bessifat final, itupun dilihat dari berbagai ragam agama
yang ada di negara Indonesia.
Untuk
menegakkan suatu hukum Islam di negara Indonesia, tidak perlu mendirikan suatu
negar Islam atau Khalifah Islamiyah. Undang-undang di negara Indonesia sudah
banyak yang mengatur masyarakat agama Islam, mulai dari zakat, perkawianan
bahkan hingga urusan peradilan agama. Karena itulah untuk menegakkan suatu hukum
Islam, tidak harus mendirikan negara Islam atau Khakifah Islamiyah, karena
secara konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah memberikan
layanan kepada masyarakat beraga denga proses yang cukup demokratis.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Khilafah Islamiyah merupakan bentuk negara/pemerintah universal
yang meliputi seluruh dunia Islam yang mengintegrasikan agama dan politik,
sehingga Negara merupakan lembaga politik sekaligus agama (al-din wa
al-daulah). Khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk
menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam. Pancasila
dalam suatu pemerintahannya yang Demokrasi,
hukumnya tidak wajib menegakkan atau mengganti suatu dasar negara
Indonesia dengan sistem Khalifah
Islamiyah, karena dasar Pancasila yang sistem pemerintahannya bersifat
demokrasi sudahlah bessifat final, itupun dilihat dari berbagai ragam agama
yang ada di negara Indonesia.
Dalam hal ini, bukan berarti Pancasila tidak
relevan dengan Indonesia sekarang sehingga harus diganti demi menata kembali
negara ini. Pancasila tetap sesuatu yang kontekstual selama ia diposisikan
sebagai dasar negara tanpa penafsiran yang sarat kepentingan individu. Kembali
untuk selalu diingat bahwa lahirnya Pancasila adalah untuk menyatukan seluruh
warga negara Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap
satu jua).Untuk menegakkan suatu hukum Islam di negara Indonesia, tidak perlu
mendirikan suatu negar Islam atau Khalifah Islamiyah. Undang-undang di negara
Indonesia sudah banyak yang mengatur masyarakat agama Islam, mulai dari zakat,
perkawianan bahkan hingga urusan peradilan agama.
Daftar Pustaka
Syamsuddin, Din dan Sudarnoto Abdul Hakim, “Khilafah”
Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam,
Vol. 2, ed. Taufik Abdullah, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012.
Sadikin, Ali dkk, “Takdir Daulah Khilafah: Pro Kontra
Pembentukan Sebuah
Negara Baru,”
Syamina, Edisi XIII, Agustus 2014.
Abdul Raziq, Ali,. Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Terj.
Afif Muhammad,
Bandung: Pustaka, 1985
al-Nabhani,
Taqiyuddin,. Nidham al-Hukm fi al-Islam, Beirut Libanon: Daar al-
Umah, 1996.
Ali Abd ar-Raziq, Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan Yogayakarta:
Jendela, 2002.
Javid
Iqbal, Hakim,. "Konsep
Negara Dalam Islam", dalam Mumtaz Ahmad (ed.)
Teori
Politik Islam, terj. Ena Hadi,
Bandung: Mizan, 1996.
Ahmad (ed.), Mumtaz ,. Teori Politik Islam, Terj. Ena Hadi, Bandung: Mizan, 1996.
Rofiq al-Amin, Ainur., Proyek Khilafah HTI, Yogyakarta: LKiS, 2015.
Vickers, Adrian ., Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Insan Madani, 2011.
Yusalia, Henny,. Dinamika Penerapan Khilafah
Sebuah Tinjauan Sosio-Histori,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Raden Fatah
Palembang, Vol. 17 No. 2/Juli-Desember 2016.
Ardiansyah¸ Irfan., PERGESERAN
DARI SISTEM KHILAFAH KE NATION STATE
DUNIA ISLAM, Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, Volume 01, Nomor 02, Oktober 2017.
Prof. Dr. M. Arskal Salim GP, M.Ag., dalam
Stadium General tentang Politik Hukum
Di Indonesia, oleh
Fakultas Syariah, IAIN Jember, Rabu 28 Maret 2018, Gedung Lt III.
[1] Din Syamsuddin
dan Sudarnoto Abdul Hakim, “Khilafah” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Vol. 2, ed. Taufik Abdullah (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012),Hlm 2.
[2] Ali Sadikin
dkk, “Takdir Daulah Khilafah: Pro Kontra Pembentukan Sebuah Negara Baru,”
(Syamina, Edisi XIII, Agustus 2014) Hlm 54
[3] Ali Abdul
Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif Muhammad,
(Bandung: Pustaka, 1985) Hlm 5
[4] Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham
al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Daar al-Umah, 1996) Hlm. 18.
[6] Hakim Javid Iqbal, "Konsep
Negara Dalam Islam", dalam Mumtaz Ahmad (ed.) Teori Politik Islam, terj.
Ena Hadi (Bandung: Mizan, 1996), Hlm 57-58
[8] Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm
fi al-Islam (Beirut Libanon: Daar al-Umah, 1996), Hlm35-36.
[9] Ainur Rofiq al-Amin, Proyek
Khilafah HTI (Yogyakarta: LKiS, 2015), Hlm 141-142.
[10] Adrian Vickers,
Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Insan Madani, 2011.. hal.181
[11] Henny Yusalia, Dinamika
Penerapan Khilafah Sebuah Tinjauan Sosio-Histori, (Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang, Vol. 17 No. 2/Juli-Desember 2016) Hlm 149
[13] Irfan
Ardiansyah¸ PERGESERAN DARI SISTEM KHILAFAH KE NATION STATE DUNIA ISLAM
(Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, Volume 01, Nomor 02, Oktober 2017)
[14] Prof. Dr. M.
Arskal Salim GP, M.Ag., dalam Stadium General tentang Politik Hukum Di
Indonesia, oleh Fakultas Syariah, IAIN Jember, Rabu 28 Maret 2018, Gedung Lt
III.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar