Jumat, 06 April 2018

Hukum Mendirikan Khalifah Islamiayah di Negara Muslim (Indonesia)


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konsep Khlifah Islamiyah
            Secara etimologis, kata khilafah berarti perwakilan, penggantian. Dalam sejarah, khilafah dikenal sebagai institusi politik Islam pengganti atau penerus  fungsi Rasulullah SAW sebagai pembuat syara’ dalam urusan agama dan politik. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa sinonim khilafah adalah imamah, yang berkaitan dengan fungsi Rasulullah SAW oleh seseorang untuk memelihara agama dan dunia[1]. Sementara itu, Al-Baidhawi dan Al-Iiji memberikan unsur tambahan dalam mendefinisikan khilafah, yaitu adalah kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikuti dan tunduk pada orang yang dipilih dan diangkat sebagai pengganti dalam menjalankan tugas kenabian tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan definisi imamah sebagai proses seorang umat Islam dalam menggantikan tugas Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, dimana ada kewajiban bagi seluruh umat islam untuk mengikuti atau tunduk kepadanya.[2]
            Menurut pandangan sebagian ulama, khilafah adalah pengganti fungsi Rasulullah S. A. W. yang di saat hidupnya menangani masalah-masalah keagamaan yang diterimanya dari Allah SWT, dan bertugas memelihara pelaksanaan ajaran agama dan mengurus persoalan politik keduniaan. Oleh karena itu, ketika Rasulullah S. A. W. wafat, para khalifah pun menjadi penggantinya dalam memelihara kelestarian ajaran agama dan urusan politik keduniaan. Orang yang melaksanakan fungsi itu pun disebut khalifah atau imam. Disebut dengan imam karena disepadankan dengan kedudukan seorang imam shalat dalam hal kepemimpinan dan mesti diikuti.[3]
            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud khilafah di sini adalah sebuah sistem pemerintah Islam sebagai pengganti Rasulullah S. A. W. dalam fungsinya menerapkan syari’at Islam dan mengurus persoalan politik keduniaan. Sistem khilafah juga berbeda dengan sistem pemerintahan lainnya dilihat dari dasar, standar, konsep maupun fungsinya. Khilafah merupakan bentuk negara/pemerintah universal yang meliputi seluruh dunia Islam yang mengintegrasikan agama dan politik, sehingga Negara merupakan lembaga politik sekaligus agama (al-din wa al-daulah). Khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam. Khilafah juga berfungsi mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Artinya, khilafah merupakan sistem sebagai pengemban dakwah pengganti Rasulullah S.A.W.[4]
            Model pemerintahan ini memiliki ciri khas menjalankan syariat Islam dan  jabatan kepala negara dipegang oleh seorang khalifah yang diangkat oleh umat muslim melalui baiat atau sumpah setia kepada khalifah selama khalifah tersebut menjalankan syariat Islam. Syariat tersebut dipandang sebagai alat koreksi jika suatu waktu khalifah hendak melenceng dan meluruskannya dari penyimpangan. Sebagian berpendapat jika khalifah melakukan penyimpangan maka ia harus dicopot dari kekhilafahannya.[5]
            Menurut ajaran Islam, untuk mengatakan bahwa suatu pemerintahan dapat disebut khilafah Islamiyah atau Negara Islam harus memenuhi beberapa prinsip dan kriteria :
a)      Prinsip pertama yang harus diyakini dan dipegangi adalah bahwa seluruh kekuasaan di bumi ini ada pada Allah, karena Dia lah yang menciptakannya.
b)      Prinsip kedua adalah bahwa syariah Islam telah ditetapkan Allah untuk membimbing umat manusia dalam menjalankan fungsi khilafahnya di bumi ini.
Berdasarkan kedua prinsip tersebut, suatu negara yang diatur menurut syariah Islam secara teknis disebut khilafah Islamiyah atau dar al-Islam.[6]
Berdasarkan prinsip bahwa kekuasaan dan kedaulatan mutlak ada pada Allah, maka negara Islam harus menjunjung tinggi syariah Islam. Selanjutnya, karena masyarakat Muslim (ummah) harus diperintah menurut hukum atau aturan Islam (syariah), dengan demikian menuntut adanya pemimpin (khalifah) yang akan melaksanakan dan menjalankannya. Tanggung jawab seorang khalifah atau kepala negara adalah melaksanakan syariah Islam dengan dipandu oleh tujuan pembentukan negara Islam (khilafah Islamiyah) yaitu menuju kebahagiaan (falah). Negara atau khilafah menjadi sarana untuk mengantarkan masyarakat Muslim mencapai keberhasilan baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Adapun prinsip-prinsip yang harus dipegangi ketika menjalankan pemerintahan adalah prinsip musyawarah, keadilan, persamaan hak, kemerdekaan, dan solidaritas.[7]
2.2 Pengertian dan Hukum Menegakkan Khilafah Islamiyah  Pesrpektif Hizbut Tahrir
            Menurut Hizbut Tahrir, Islam telah menetapkan sekaligus membatasi bentuk pemerintahan dengan sistem khilafah. Sistem khilafah ini satu-satunya sistem pemerintahan bagi daulah Islam. Sistem khilafah berbeda dengan sistem pemerintahan yang lain, seperti disebutkan dalam kitab Nidham alHukm fi al-Islam, yang merupakan rujukan utama Hizbut Tahrir dalam memperjuangkan politiknya bahwa “.... Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem khilafah. Sistem khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia ....[8]
            Hizbut Tahrir menegaskan bahwa mendirikan khilafah hukumnya fardlu kifayah bagi seluruh umat Islam. Yang dimaksud fardlu kifayah adalah jika sebagian muslim telah benar-benar selesai melakukan tugas tersebut maka sebagian muslim lainnya gugur kewajibannya. Dalam kaitannya dengan khilafah dan fardlu kifayah ini, Hizbut Tahrir menegaskan bahwa sekalipun menegakkan khilafah Islamiyah adalah wajib kifayah, selama khilafah belum berdiri maka setiap individu muslim yang mukallaf berkewajiban menegakkannya tanpa pandang bulu hingga khilafah benar-benar berdiri. Selama khilafah belum berdiri, maka semua kaum muslim terkena kewajiban tersebut[9].
2.3. Konsep Negara Pancasila dan isi kandungan Pancasila
            Setiap warga negara di dunia ini mempunyai dasar negara yang dijadikan landasan dalam menyelenggarakan pemerintah negara. Seperti Indonesia, Hal tersebut sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945,yang berbunyi : “Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara”. Dengan demikian kedudukan pancasila sebagai dasar negara termaksuk secara yuridis konstitusional dalam pembukaan UUD 1945, yang merupakan cita-cita hukum dan norma hukum yang menguasai hukum dasar negara RI dan dituangkan dalam pasal-pasal UUD 1945 dan di atur dalam peraturan perundangan.
Selain bersifat yuridis konstitusional, pancasila juga bersifat yuridis ketatanegaraan yang artinya pancasila sebagai dasar negara, pada hakikatnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum. Artinya segala peraturan perundangan secara material harus berdasardan bersumber pada pancasila. Apabila ada peraturan (di dalam nya UUD 1945) yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur pancasila, maka sudah sepatutnya peraturan tersebut dicabut. Berdasarkan uraian tersebut pancasila sebagai dasar negara mempunyai sifat imperatif atau memeksa, artinya mengikat dan memaksa setiap warga negara untuk tunduk kepada pancasila dan bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran harus ditindak sesuai hukum yang berlaku di Indonesia serta bagi pelanggar dikenakan sanksi-sanksi hukum.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila memiliki sifat obyektif-subyektif. Sifat subyektif maksudnya pancasila merupakan hasil perenungan dan pemikiran bagsa Indonesia, sedangkan obyektif artinya nilai pancasila sesuai dengan dan bersifat universal yang diterima oleh bangsa-bangsa bekenyataan radab. Oleh karena memiliki nilai obyektif-universal dan diyakini kebenaran nya oleh seluruh bangsa Indonesia maka pancasila selalu dipertahankan sebagai dasar negara.
Jadi berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa pancasila sebagai dasar nya negara memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga cita-cita para pendiri bangsa indonesia dapat terwujud. Bagi bangsa indonesia hakikat yang sesungguhnya dari pancasila adalah sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai dasar negara. Kedua pengertia tersebut sudah selayaknya kita pahami akan hakikatnya. Berikut ini adalah nilai-nilai yang terkandung dalam isi Pancasila : 
1.      Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sila pertama ini ditetapkan sebagai alternatif dari pembentukan Islam. Sila pertama ini menjamin hak-hak pemeluk agama lain, sejauh agama itu diakui oleh negara[10]. Membangun Indonesia merdeka bukan berdasar atas kesamaan keagamaan, tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menganugerahi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan. Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa meskipun Indonesia bukan negara agama, tetapi agama merupakan nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan negara. Penduduk yang beragama tentu memiliki ajaran luhur yang menjadikan pemeluknya selalu berada dalam kebaikan dan kebenaran selama mengikuti ajaran agamanya.
Indonesia bukanlah negara sekuler yang tidak mengakui agama dalam pemerintahannya, dan bukan negara agama yang menjadikan agama mayoritas sebagai agama negara. Melainkan, sebagai negara berketuhanan Yang Maha Esa yang mengakui agama sebagai spirit dalam penyelenggaraan negara. Keselarasan sila pertama Pancasila dengan syariat Islam terlihat dalam alQur’an yang mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan, seperti dalam Surat al-Baqarah, ayat 163 yang memiliki arti; “Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa . Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Murah, lagi Maha Penyayang”. Konsep ini menunjukkan bahwa dasar kehidupan bernegara rakyat Indonesia adalah ketuhanan. Di dalam Islam, konsep ini biasa disebut hablum min Allah yang merupakan esensi dari tauhid berupa hubungan manusia dengan Allah Swt.
2.      Sila Kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
Sila kedua dari Pancasila ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat dalam diri pribadi manusia tanpa terkecuali. Jika hubungan manusia dengan Tuhannya ditunjukkan pada sila pertama, maka hubungan sesama manusia ditunjukkan pada sila kedua. Konsep Hablum min an-nass (hubungan sesama manusia) dalam bentuk saling menghargai sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang beradab. Tidak ada perbedaan dalam hak dan kewajiban sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan, artinya tidak boleh ada diskriminasi antar umat manusia. Berperilaku adil dalam segala hal merupakan prinsip kemanusian yang terdapat dalam sila kedua Pancasila, prinsip ini terlihat dalam ayat al-Qur’an surat al-Maa’idah, ayat 8 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran). Karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendo rong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
3.      Sila Ketiga “Persatuan Indonesia”
Persatuan Indonesia yang merupakan bunyi sila ketiga Pancasila menunjukkan kepada dunia bahwa persatuan merupakan dasar dibentuknya negara Indonesia. Persatuan Indonesia bukan dalam arti sempit saja, tetapi dalam arti luas bahwa seluruh penduduk Indonesia diikat oleh satu kesatuan geografis sebagai negara Indonesia. Adapun konsep persatuan dalam bingkai ajaran Islam meliputi Ukhuwah Islamiyah (persatuan sesama muslim) dan juga Ukhuwah Insaniyah (persatuan sebagai sesama manusia). Kedua konsep tersebut hendaknya berjalan beriringan agar tercipta masyarakat yang harmonis dan jauh dari perpecahan dan pertikaian karena perbedaan agama, suku, maupun ras. Islam selalu menganjurkan pentingnya persatuan sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an; “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 10).
4.      Sila Keempat ”Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan”
Sila keempat Pancasila yang menekankan pentingnya kehidupan yang dilandasi oleh musyawarah memang selaras dengan nilai luhur dalam ajaran Islam. Sikap bijak dalam menyelesaikan suatu masalah adalah dengan bermusyawarah. Musyawarah merupakan jalan terbaik dalam mencari solusi dimana masing-masing pihak berdiri sama tinggi tanpa ada perbedaan. Hasil dari musyawarah pun merupakan kesepakatan bersama yang harus dijalankan dengan penuh keikhlasan. Konsep Islam mengenai musyawarah dalam menyelesaikan sebuah permasalahan dikenal dengan nama syuura (musyawarah). Konsep ini tercermin dalam beberapa surat dalam al-Qur’an, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. asySyuura [42]: 38).
5.      Sila Kelima; Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Dalam setiap sila Pancasila ternyata mengandung nilai-nilai keislaman, sebagaimana sila kelima yang mengisyaratkan adanya keadailan dalam proses penyelenggaraan negara. Keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali oleh adanya perbedaan agama, ras, dan sebagainya. Ajaran Islam memuat berbagai konsep mengenai keadilan, baik adil terhadap diri sendiri maupun orang lain. Sebagai agama yang rahmatan lil alamin, misi besar Islam adalah implementasi keadilan dalam segala sendi kehidupan. Oleh sebab itu, Islam memerintahkan umat muslim untuk selalu berbuat adil dalam segala hal dan menghindari pertikaian serta permusuhan agar tatanan sosial masyarakat dapat tercipta dengan baik. Sila kelima yang menekankan pada keadilan sosial sejatinya merupakan cerminan dari konsep Islam mengenai keadilan. Mengenai keadilan dalam ajaran Islam dapat dilihat pada al-Qur’an; “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. anNahl [16]: 90).
2.4 Khilafah Islamiyah di Dunia Modern (Indonesia)
            Realitas masyarakat dunia saat ini telah diwarnai penguatan ideology keagamaan, etnis, dan nasionalisme kebangsaan. Tesis Huntington yang telah dijelaskan sebelumnya memperlihatkan bahwa benturan antar peradaban akan mengarah pada konflik berkepanjangan antara Timur dan Barat. Penguatan sentimen etnis dan agama adalah pemicu yang paling besar dan itulah yang akan menghambat jalannya konsep kekhilafahan di era sekarang ini.  Aktifis Jaringan Islam Liberal (JIL) ini membantah pernyataan dan keyakinan dari HTI mengenai konsep negara Islam. Menurutnya, Khilafah Islamiyah bukan hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan. Alasan ketidakrelefanan penggunaan pemerintahan Khalifah Islamiyah:
1.      Amat tidak mudah mencari rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat Islam yang menyebar di sejumlah kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung oleh HTI adalah hanya salah satu rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani, yang belum tentu diamini oleh para ulama yang lain. Dalam konteks Indonesia, agak sulit dibayangkan bagaimana umat Islam bisa satu kata untuk menerima satu konsep mengenai khilafah. Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, atau yang lainnya? Cukup pelik memang menghadirkan konsep khilafah dalam konteks sekarang. Bahkan jauh-jauh hari, NU dan Muhammadiyah telah bersuara bahwa Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final. Khilafah tidak pernah dipertimbangkan oleh kedua ormas Islam terbesar itu.[11]
2.      jika khilafah merupakan lanskap atau wadah untuk memformalisasikan syariat Islam, maka pertanyaan sederhananya adalah syariat Islam yang mana? Syariat dalam tafsir siapa? Sebagaimana dikatakan Ibn ‘Aqil, bukankah syariat itu amat beragam, sekalipun agama tetap satu? Al-din wahid waal-syari’atu mukhtalifah. Memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan syariat Islam yang lain. Alasan ini kiranya yang menyadarkan seorang tokoh sekelas Imam Malik ketika menolak tawaran khalifah saat itu untuk menjadikan al-Muwaththa`, salah satu karyanya, menjadi konstitusi negara (daulah).
3.      Ketiga, khilafah tidak memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah banyak menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah. Betapa dari empat Khulafa` Rasyidun, tiga di antaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib) mati terbunuh justru ketika konsep khilafah itu diterapkan. Peperangan onta (waq’ah al-jamal) yang melibatkan Ali ibn Abi Thalib (menantu sekaligus sepupu Nabi) dan Siti Aisyah (istri Muhammad SAW) telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan menghukum para intelektual muslim brilian juga terjadi dalam dunia khilafah. Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah konsep yang ideal. Ia telah gagal justru pada saat uji cobanya yang pertama.[12]
Khilafah merupakan sistem pemerintahan yang bersifat universal yang meliputi seluruh dunia Islam yang mengintegrasikan agama dan politik, sehingga negara merupakan lembaga politik sekaligus agama. Sistem khilafah tersebut tidak pas diterapkan di Indonesia, bahkan sudah tidak relavan untuk kondisi sekarang, sebab negara-negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas muslim sudah mapan dengan nation state. Meskipun sistem khilafah ideal karena dapat mempersatukan dunia Islam, tetapi sulit diwujudkan atau sebagai konsep ideal utopis. Islam tidak mewajibkan untuk menerapkan sistem khilafah. Tidak terdapat satu pun ayat al-Qur’an maupun hadits yang mewajibkan umat Islam untuk mendirikan khilafah. Yang diperintahkan oleh Islam adalah mendirikan imamah (kepemimpinan), dan imamah bentuknya tidak harus khilafah, tetapi disesuaikan dengan situasi dan perkembangan politik yang ada sehingga relevan.[13]
2.5 Hukum Menegakkan Sistem Khalifah Islamiyah Di Indonesia
            Dari beberapa teori atau pembahasan yang sudah disinggung diatas, dapat di ambil suatu hukum, bahwasannya di dalam suatu negara Indonesia yang berideologi atau berlandaskan Pancasila dalam suatu pemerintahannya yang Demokrasi,  hukumnya tidak wajib menegakkan atau mengganti suatu dasar negara Indonesia  dengan sistem Khalifah Islamiyah, karena dasar Pancasila yang sistem pemerintahannya bersifat demokrasi sudahlah bessifat final, itupun dilihat dari berbagai ragam agama yang ada di negara Indonesia.
            Untuk menegakkan suatu hukum Islam di negara Indonesia, tidak perlu mendirikan suatu negar Islam atau Khalifah Islamiyah. Undang-undang di negara Indonesia sudah banyak yang mengatur masyarakat agama Islam, mulai dari zakat, perkawianan bahkan hingga urusan peradilan agama. Karena itulah untuk menegakkan suatu hukum Islam, tidak harus mendirikan negara Islam atau Khakifah Islamiyah, karena secara konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah memberikan layanan kepada masyarakat beraga denga proses yang cukup demokratis.[14]

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Khilafah Islamiyah merupakan bentuk negara/pemerintah universal yang meliputi seluruh dunia Islam yang mengintegrasikan agama dan politik, sehingga Negara merupakan lembaga politik sekaligus agama (al-din wa al-daulah). Khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam. Pancasila dalam suatu pemerintahannya yang Demokrasi,  hukumnya tidak wajib menegakkan atau mengganti suatu dasar negara Indonesia  dengan sistem Khalifah Islamiyah, karena dasar Pancasila yang sistem pemerintahannya bersifat demokrasi sudahlah bessifat final, itupun dilihat dari berbagai ragam agama yang ada di negara Indonesia.
Dalam hal ini, bukan berarti Pancasila tidak relevan dengan Indonesia sekarang sehingga harus diganti demi menata kembali negara ini. Pancasila tetap sesuatu yang kontekstual selama ia diposisikan sebagai dasar negara tanpa penafsiran yang sarat kepentingan individu. Kembali untuk selalu diingat bahwa lahirnya Pancasila adalah untuk menyatukan seluruh warga negara Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).Untuk menegakkan suatu hukum Islam di negara Indonesia, tidak perlu mendirikan suatu negar Islam atau Khalifah Islamiyah. Undang-undang di negara Indonesia sudah banyak yang mengatur masyarakat agama Islam, mulai dari zakat, perkawianan bahkan hingga urusan peradilan agama.


Daftar Pustaka
Syamsuddin, Din dan Sudarnoto Abdul Hakim, “Khilafah” Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, Vol. 2, ed. Taufik Abdullah, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012.

Sadikin, Ali dkk, “Takdir Daulah Khilafah: Pro Kontra Pembentukan Sebuah
            Negara Baru,” Syamina, Edisi XIII, Agustus 2014.

Abdul Raziq, Ali,. Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif Muhammad,
 Bandung: Pustaka, 1985

al-Nabhani, Taqiyuddin,. Nidham al-Hukm fi al-Islam, Beirut Libanon: Daar al-
            Umah, 1996.

Ali Abd ar-Raziq, Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan Yogayakarta: Jendela,    2002.

Javid Iqbal, Hakim,. "Konsep Negara Dalam Islam", dalam Mumtaz Ahmad (ed.)
Teori Politik Islam, terj. Ena Hadi, Bandung: Mizan, 1996.
Ahmad (ed.), Mumtaz ,. Teori Politik Islam, Terj. Ena Hadi, Bandung: Mizan, 1996.
Rofiq al-Amin, Ainur.,  Proyek Khilafah HTI, Yogyakarta: LKiS, 2015.
Vickers, Adrian ., Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Insan Madani, 2011.
Yusalia, Henny,. Dinamika Penerapan Khilafah Sebuah Tinjauan Sosio-Histori,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang, Vol. 17 No. 2/Juli-Desember 2016.
Ardiansyah¸ Irfan.,  PERGESERAN DARI SISTEM KHILAFAH KE NATION STATE
DUNIA ISLAM, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, Volume 01, Nomor 02, Oktober 2017.

Prof. Dr. M. Arskal Salim GP, M.Ag., dalam Stadium General tentang Politik Hukum
Di Indonesia, oleh Fakultas Syariah, IAIN Jember, Rabu 28 Maret 2018, Gedung Lt III.


[1] Din Syamsuddin dan Sudarnoto Abdul Hakim, “Khilafah” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 2, ed. Taufik Abdullah (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012),Hlm 2.
[2] Ali Sadikin dkk, “Takdir Daulah Khilafah: Pro Kontra Pembentukan Sebuah Negara Baru,” (Syamina, Edisi XIII, Agustus 2014) Hlm 54
[3] Ali Abdul Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985) Hlm 5
[4] Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Daar al-Umah, 1996) Hlm. 18.
[5] Ali Abd ar-Raziq, Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan (Yogayakarta: Jendela, 2002), Hlm 7.
[6] Hakim Javid Iqbal, "Konsep Negara Dalam Islam", dalam Mumtaz Ahmad (ed.) Teori Politik Islam, terj. Ena Hadi (Bandung: Mizan, 1996), Hlm 57-58
[7] Mumtaz Ahmad (ed.), Teori Politik Islam, Terj. Ena Hadi (Bandung: Mizan, 1996), Hlm58.
[8] Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam (Beirut Libanon: Daar al-Umah, 1996), Hlm35-36.
[9] Ainur Rofiq al-Amin, Proyek Khilafah HTI (Yogyakarta: LKiS, 2015), Hlm 141-142.
[10] Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Insan Madani, 2011.. hal.181
[11] Henny Yusalia, Dinamika Penerapan Khilafah Sebuah Tinjauan Sosio-Histori, (Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang, Vol. 17 No. 2/Juli-Desember 2016) Hlm 149
[12] Henny Yusalia, ,…. Hlm 149-150
[13] Irfan Ardiansyah¸ PERGESERAN DARI SISTEM KHILAFAH KE NATION STATE DUNIA ISLAM (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, Volume 01, Nomor 02, Oktober 2017)
[14] Prof. Dr. M. Arskal Salim GP, M.Ag., dalam Stadium General tentang Politik Hukum Di Indonesia, oleh Fakultas Syariah, IAIN Jember, Rabu 28 Maret 2018, Gedung Lt III.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stratifikasi Sosial

 Latar Belakang Masyarakat dengan segala aspek yang mencakup di dalamnya merupakan suatu objek kajian yang menarik untuk diteliti. Begitu...