Kamis, 12 April 2018

Kaidah Hukum Islam (Qawaid Fiqhliyah)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pengambilan hokum fiqih (Instinbhat Hukum) dari Al-Qur’an dan hadis yang dilakukan oleh ulama mujtahid berdasarkan atas 2 kaidah yaitu kaidah fiqhiyah dan ushuliyah. Kaidah merupkan pedoman. Kaidah ushuliyah berarti kaidah atau aturan untuk memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan pengambilan hokum yang diperoleh dengan mempelajari bahasa yang terkandung dalam dalil tersebut.
Sedngkan kaidah fiqhiyah merupakan pengambilan hokum yang dikaitakan dengan fakta atau substansinya. Penggunaan suatau lafadl yang menjadi objek dalam kajian ushul fiqh banyak macamnya, antara lain: perintah, larangan, khas’am, mujmal mubbayan, murodif dan mustarok. Semua itu dibutuhkan untuk memahami ketentuan lafadl yang ada dalam al-Qur’an, sehingga dapat menentukan hokum fiqihnya. Karena  di dalam bahasa Arab penggunaan lafald berimplikasi pada hokum.
Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan di zaman modern ini, maka, hendaklah kita memahami secara baik tentang konsep isiplin ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam.
Menjadi suatu kewajiban sebagai seorang muslim untuk  memahami dan meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum yang berkaitan dengan af’al mukallaf, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidup dizaman moderen ini, kita dituntut oleh keadaan untuk menjawab hukum-hukum islam yang terjadi ditengan-tengah masyarakat lokal maupu non lokal. Maka kondisi ini membuat penulis tertantang untuk mengupas sedikit banyaknya tentang Qawaid Fiqhiyah.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Qowaid Fiqhiyah?
2.      Bagaimana Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Qawa’idul Fiqhiyah?
3.      Ada berapakah Kaidah dalam Qawa’idul Fiqhiyah?
4.      Apa saja Manfaat Mempelajari Qawaid Fiqhiyah?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Qawaid Fiqhiyah.
2.      Untuk mengetahui Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan dari Qawaid Fiqhiyah
3.      Untuk mengetahui Ada berapakah Kaidah dalam Qawaid Fiqhiyah.
4.      Untuk mengetahui Manfaat Mempelajari dari Qawaid Fiqhiyah.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Definisi Qowaid Fiqhiyah
            Qawa’idul fiqhiyah berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata ,yaitu qawa’id  dan fiqhiyah. Qowa’id adalah bentuk jama’ dari kata qaidah yang secara  etimologi berarti dasar atau pondasi (al-Asas). Jadi qawa’id berarti dasar-dasar sesuatu. Ada dasar yang bersifat kongkrit (bisa dilihat) seperti dasar atau fondasi rumah, dan ada juga dasar yang bersifat ma’nawi /abstrak (tidak bisa dilihat) seperti dasar-dasar agama.
            Secara terminologi, al-Taftazani mendefinisikan qaidah dengan “hukum yang bersifat universal (kulli) dan dapat diterapkan pada seluruh bagian-bagiannya, yang mana persoalan-persoalannya bagian juz’i  tersebut dapat dikenali darinya. menurut Dr. Ahmad asy-Syafi’i menyatakan bahwa kaidah adalah:
القضايا الكلية التي يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزنيات كثيرة.
 “Hukum yang bersifat universal ( kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak
            Sedangkan kata  fiqhiyah berasal dari kata fiqh yang ditambah ya nisbah, gunanya untuk menunjukkan jenis. Secara etimologi, kata fiqh berasal dari kata fiqhan yang merupakan masdar  dari fi’il madhi “faqiha”  yang berarti paham.[1] Selain itu, fiqh juga dimaknai sebagai pemahaman mendalam yang untuksampai padanya diperlukan pengerahan pemikiran secara bersungguh-sungguh. Oleh sebab itu, pemahaman di sini tidak hanya pemahaman secara lahir tapijuga batin.[2]
Sedangkan secara terminologi fiqh menurut al-Jurjani al-Hanafi adalah
العلم بلاحكم الشيعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بلرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر                                                                                                                     والتأمل
“ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ amaliah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsiliy dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan”[3].
            Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih
yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi
hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang
termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.[4]
            Dari pengertian uraian diatas baik mengenai qawa’id maupun fiqhiyah maka dapat ditarik benang merah pengertian dari qawa’id fiqhiyah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Tajjudin as-Subqi yaitu
الامر الكل الذ ينطبق على جزنيات كثيرة تفهم احكامها منها
“suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juz’iyah yang banyak dari padanya dikethui hukum-hukum juziyat itu”
            Para ulama dalam memaknai definisi-definisi qawa’idul fiqhiyah diatas membagi atas dua bagian. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam memandang keberlakuannya, apakah bersifat kulli (menyeluruh/universal) atau aghlabi (kebanyakan).
            Bagi  para Ulama yang memandang bahwa qawa’idul fiqhiyah bersifat aghlabi, mereka beralasan bahwa realitanya memang seluruh qawa’idul, fiqhiyah memiliki pengecualian, sehingga penyebutan kulli terhadap qwa’idul fiqhiyah menjadi kurang tepat. Sedangkan bagi ulama yang memandang qawa’idul fiqhiyah  sebagai bersifat kulli, mereka beralasan pada kenyataannya bahwa pengecualian yang terdapat pada qawa’idul fiqhiyah tidaklah banyak. Disamping itu mereka beralasan bahwa pengecualian (al-istisna’) tidak memiliki hokum, sehingga tidakmengurangi sifat kulli  pada qawa’idul fiqhiyah.
            Jadi pada dasarnya kedua kelompok ulama di atas sepakat tentang adanya iastisna’ (pegecualian) dalam penerapan qawa’idul fiqhiyah, hanya saja mereka berbeda pendapat berkenaan dengan pengaruh istisna’ tersebut terhadap keuniversalan qawa’idul fiqhiyah.
            Dengan demikian, qawa’idul fiqhiyah merupakan kaedah-kaedah yang bersifat umum, meliputi sejumlah masalah fiqh, dan melaluinya dapat diketahui sejumlah masalah yang berada dalam cakupannya.

2.2  Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Qawa’idul Fiqhiyah

            Menurut Ali Ahmad al-Nadwi, secara garis besar ada tiga periode penyusunan  qawa’idul fiqhiyah yaitu pertama, periode kelahiran, kedua periode pertumbuhan-pembekuan, ketiga periode penyempurnaan. Cikal bakal dari kemunculan qawa’idul fiqhiyah bersamaan dengan hadirnya Rosulullah SAW melalui hadist-hadistnya yang menjelaskan dan merinci ajaran islam yang bersumber dari wahyu Allah. Bahkan tak jarang beliau juga menetapkan suatu hukum yang belum disebutkan ketentuannya secara eksplisit dalam al-Quran.[5]
            Seiring dengan semakin banyaknya persoalan-persoalanyang dihadapi oleh umat islam, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat qo’idah dan dhabit yang dapat memlihara hukum furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemrawutan. Hal inilah yang dilakukan oleh oleh Abu Hasan al-Kharwi dalam risalahnya (Ushulal-Kharhi) dan Abu Zaid al-Dabbusi dalam kitabnya Ta’sis al-Nazhar dengan memakai istilah ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh, maka disebut qa’idah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqh disebut dhabit.
            Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa fuqaha Hanafiah menjadi kelompok pertama yang mengkaji qawa’idul fiqhiyah. Ini karena luasnya furu’ yang mereka kembangkan. Pengumpulan qawa’idul fiqhiyah dalam madzhab Hanafi dilakukan pertama kali oleh Abu Thahir al-Dabbas al-Hanafieorang ulama yang hidup pada abad ke III dan ke IV H. fuqaha’ pada abad IV H telah mengumpulkan qa’idah yang paling penting dalam madzhab Hanafi kedalam 17 qa’idah kulliyah. Dan kemudian Abu Sa’id al-Harawi al-Syafi’I berhasil mengambil 5 Qa’idah-qa’idah dasaryang populer yaitu:
الامور بمقاصدها, اليقين لا يزال بالشك,  المشقة تجلب التيسير, العادة محكمة, الضرر يزال
            Pada abad ke V dan ke VI H tidak ditemukan kitab yang secara khusus mengkaji masalah qawa’idul fiqhiyah  selain kitab Ta’sis al-Nazhar karya al-Dabbusidan kitab Idhah al-Qawa’id karya Alauddin Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi. dalam abad ini terlihat kretifitas ulama sangat minim dalam merumuskan qawa’idul fiqhiyah. Tetapi kemungkinan perjalanan sejarah tidakdapat melacaknya seperti juga halnya yang menimpa sejumlah besar karya-karya ulama lainnya.
            Pada abad ke VII H ilmu qawa’idul fiqhiyah berkembang dengan pesat meskipun belum mencapai fase kejayaan puncak. Hal ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh ulama yang lahir pada abad ini yang juga sekaligus tokoh dalam ilmu qawa’idul fiqhiyah seperti Muhammad bin Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki dengan kitab karangannya yang berjudul al-Qawa’id Furu’ al-Syafi’iyah. Di abad ini juga lahir ulama Izzuddin bin ‘Abdissalam yang menyusun kitab Qawa’id al-Ahkam fi Masholih al-Anam.
            pada abad VIII ilmu qawa’idul fiqhiyah mencapai masa kejayaan. Ini ditandai dengan banyaknya kitab-kitab yang berhasildikarang oleh ulama-ulama pada waktu itu. Dalam abad ini, ulama dari kalangan madzhab Syafi’iyah termasuk yang paling kreatif dalam membuat karya-karya besar.
            Pada abad X H pengkodifikasian qawa’idul fiqhiyah semakin maju dan berkembang. Dalam abad ini para ulama berusaha untuk mengumpulkan berkas-berkas yang sangat penting bagi ilmu qawa’idul fiqhiyah.  Seperti imam al-Suyuti yang mengumpulkan qawa’idul fiqhiyah paling penting dari karya al-‘Alai, al-Subki, dan al-Zarkasyi. Dan masih banyak lagi para ulama yang berusaha menyusun kitab qawa’idul fiqhiyah dengan mengambil rujukan dari kitab-kitab ulama sebelumnya.
            Pada abad XI dan XII ilmu qawa’idul fiqhiyah  terus mengalami perkembangan yang signifikan. Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawa’idul fiqhiyah adalah fase perkembangan dan pembukuan (pembukuan). Para ulama yang hidup pada abad ini hampir dapat menyempurnakan ilmu qawa’idul fiqhiyah.
            Pengkodifikasian qawa’idul fiqhiyah  mencapai masa kejayaannya ketika disusun kitab Majallat al-Ahkam al-adliyyah oleh komite lajnah fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azizi Khan al-Utsmani. Pada akhir abad XIII H Majallat al-Ahkam al-adliyyah  menjadi rujukan lembaga-lembaga pada masa itu. Ini menandai sebagai era kematangan qawa’idul fiqhiya. kitab Majallat al-Ahkam al-adliyyah ini pula yang kemudian memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan fiqh dan perundang-undangan di dunia islam lainnya.

2.3  Kaidah Fiqhiyah
            Ada lima kaidah fiqhiyah  yang disebut juga sebagai pancakaidah. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
1.      الامور بمقاصدها (segala urusan bergantung pada tujuannya)
2.      الضرر يزال (kemudharatan harus dihilangkan)
3.      العادة محكمة (kebiasaan dapat menjadi hokum)
4.      اليقين لا يزال بالشك (keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
5.      المشقة تجلب التيسير ( kesukaran mendatangkan kemudahan)
            Qaidah yang pertama menjelaskan tentang semua perbuatan manusia dalam kaitannya dengan pelaksanaan hukum taklif, bergantung pada motivasinya. Niat yang mendasar adanya di dalam hati dan yang mengetahuinya hanyalah mukallaf  dan Allah SAW. Kaidah tersebut mengacu pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 225, surat Al-Maidah ayat 89. Dan hadist yang berkaitan dengan kaidah ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim:
انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى إمرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Artinya: Semua amal perbuatan manusia itu bergantung pada niat dan pelakunya dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang berhijrah untuk meraih ridho Allah dan Rosul-NYA, maka hijrahnya akan memperoleh ridho Allah dan Rosul-Nya. Barang siapa yang hijrah berniat untuk dunia yang bakal diperolehnya atau karena perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan tertuju sesuai dengan niat yang dimaksudkannya.[6]
            Berdasarkan kaidah fiqhiyah tersebut dikembangkanlah kaidah cabangnya yang oleh Hasbi Ash-siddiqy disebut sebagai kaidah syarah kaidah fiqhiyah. Kaidah furu’iyah-nya yang berkaitan dengan hal ini adalah lataubah illabinniyat (tidak ada pahala tanpa niat), maqasyid wa al-niyah al—lafzh (maksud-maksud pembicaraan dalam dalam maqasyid wa al-niyah artinya yang menjadikan patokandalam transaki adalah niat dan tujuan.
            Qaidah yang kedua berlandaskan pada surat Al-a’raf ayat 56, surat Al-Qashashas aya 77. Dan hadist yang menjadi dalil keberadaan kaidah Adh-dharar yuzal adalah: لا ضرر ولا ضرار (jangan membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain)
            Kaidah yang ketiga yang menyatakan adat dapat dijadikan hukum menurut Muhlis Usman didasarkan pada nash Al-Quran. Diantaranya adalah surat  Al-A’raf ayat 199, An-Nisa ayat 19, Al-Baqarah ayat 228. Dalam kidah ini adat dapat digolongkan jadi dua bagian yaitu:
1.      Adat shahihah, yaitu adat yang merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan hukkum yang lebih tinggi yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist.tidak bertentangan dengan akal sehat masyarakat yang pelaksanaan adat tersebut mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat.
2.      Adat fasidah yakni adat yang rusak, sebagai adat kebiasaan yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist bahkan bertentangan dengan akal sehat.pelaksanaan badat ini mendatangkan kemudharatan seperti penyembelihan manusia ketika pergntian kepala suku.[7]
      Menurut Rachmat syafe’I, dalam hokum islam, adat disebut juga dengan istilah ‘urf  yang secara harfiah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Setiap adat dan ‘urf  akan mengalami perubahan sesuai dengann perkembangan zamannya sehingga ‘urf  tidak berlaku universal, bukan hanya local bahkan ‘urf sifatnya parsial. Berlaku di wilayah tertentu saja dan tidak sama dengan wilayah lainnya.
      Hukum adat mengalami proses asimilasi dengan hukum islam atu Hukum Isalam yang diterapkan dalam masyarakat menjadi hukum adat. Kepentingan social akan hokum dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama diterapkan dalam kehidupanmasyarakat yang berproses menjadi norma social sebagai cira dari moralitas masyarakat.
      Prespektif Filsafat Hukum Islam memberikan pemahaman bahwa adat dapat menjadi hukum yang mengatur kehidupan masyarakat yang pada hakikatnya merupakan ciptaan masyarakat sendiri yang diwujudkan dengan proses tradisionalisasi pelaku social. Nilai-nilai dalam tradisi perilaku diperoleh dari berbagai ajaran yakni ajaran nenek moyang, ajaran agama, dan berbagai petuah penguasa adat secara turun-temurun
      Kaidah yang ke-empat  adalah اليقين لا يزال بالشك (keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan). Menurut Abdul Majid, yakin adalah sesuatu yang tetap baik dalam penganalisaannya maupun dengan dalil. Adapun ragu adalah semua yang tidak menentu antara ada yang tidak adanya, dandalalm ketidak tentuan itu, sama antara baas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan oleh salah satunya.
Kaidah ke-lima adalah kesukaran mendatangkan kemudahan. Kaidah ini berdasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185.
يريدالله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر[185]
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Selain ayat diatas, kaidah kelima ini juga berlandaskan  kepada syrat Al-Hajj ayat 78, An-Nisa ayat 28, Al-Baqarah ayat 286, dan bebrapa hadist lainnya.
            Wahbah Az-Zuhaili sebagaiman di kutip oleh Muslish Usman membagi kesulitan kedalam dua tingkatan.
1.      Kesulitan mu’tadah,yaitu kesulitan yang alami, sehingga manusia mampu mencari solusi dan mengeluarkan problemnya sendiri.
2.      Kesulitan ghoiru mu’tadah, yaitu kesulitan yang bukan alamiah atau diluar kebiasaan.manusia ntidak bisa memcahkan sendiri kesulitan seperti ini.[8]
2.4   Manfaat Mempelajari Qawaid Fiqhiyah
            Manfat mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah: [9]
1.      Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2.      Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3.      Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4.      Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5.      Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6.      Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
7.      Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8.      Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Dari apa yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa kaidah fiqhiyyah adalah ketentuan hukum yang bersifat umum yang mencakup hokum hukum derifasinya karena sifat keumumannya dan atau totalitasnya. Kaidah fiqhiyyah cabang adalah kaidah yang spesifik membidangi bab atau tema tertentu pada permasalahan fikih, sehingga sebagian fuqahâ memasukkan dalam dlawâbith fiqhiyyah , sebagian lagi memasukkan dalam qawâid fiqhiyyah khâshshah.
            Cakupan kaidah fiqhiyyah cabang diantaranya adalah ‘ibâdah, mu’âmalah, mâliyah, siyâsah, akhwal alsyakhshiyyah, dan lain-lain. Kaidah fiqhiyyah sebagai instrument hukum Islam, memiliki daya akseptabilitas yang tinggi terhadap permasalahan hukum Islam kontemporer sehingga eksistensinya membantu mijtahidin dalam memetakan masalah dan mencari solusi yang maslahah.
            Dalam kaidah fiqhiyah Ada lima  yang disebut juga sebagai pancakaidah. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
1.      الامور بمقاصدها (segala urusan bergantung pada tujuannya)
2.      الضرر يزال (kemudharatan harus dihilangkan)
3.      العادة محكمة (kebiasaan dapat menjadi hokum)
4.      اليقين لا يزال بالشك (keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
5.      المشقة تجلب التيسير ( kesukaran mendatangkan kemudahan)



Daftar Pustaka

Andiko, Toha Ilmu Qawaid Fiqhiyah , Yogyakarta: Teras, 2011.
As-Siddiqy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Dahlan, Abd. Rahman Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah.
Ahmad, Soebani dan Beni,  Filsafat Hukum Islam, Bnadung: CV Pustaka Setia, 2008.
Syukri Albani Nasution, Muhammad,  Filsafat Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo     Persada, 2013.
Syafiuddin, H. Asnin , Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02pendahuluan diposting pada tanggal 18 Oktober 2013


[1] Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyah (Yogyakarta: Teras, 2011), 3.
[2] Toha Andiko,)…… Hlm 3.

[3] Hasbi As-Siddiqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) Hlm 25.
[4]  Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih (Jakarta: Amzah) Hlm .13
[5] Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyah (Yogyakarta: Teras, 2011), 7.
[6] Soebani dan Beni Ahmad, Filsafat Hukum Islam (Bnadung: CV Pustaka Setia, 2008), Hlm257.
[7] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Hlm 133-134.
[8] Soebani dan Beni Ahmad, Filsafat Hukum Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), 273.
[9] H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02pendahuluan diposting pada tanggal 18 Oktober 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stratifikasi Sosial

 Latar Belakang Masyarakat dengan segala aspek yang mencakup di dalamnya merupakan suatu objek kajian yang menarik untuk diteliti. Begitu...