Sabtu, 24 Maret 2018

Uji Materil Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 43 Ayat 1 Undang-undnag No. 1 tahun 1974 tentang Pernikahan terhadap Hak Keperdataan Anak baik anak Lahir di Luar Nikah atau Nikah Siri serta Konsekuesni terhadapan Hak Waris

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia secara kodrati merupakan mahkluk pribadi sekaligus sebagai mahkluk sosial. Sebagai mahkluk sosial manusia senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain. Ada beberapa alasan sehingga manusia yang satu dan lainnya saling berinteraksi. Salah satu dorongan interaksi antara manusia satu dengan manusia lainnya dalam hubungan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan.  UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.
Suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Fenomena yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan bahwa ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri tidak selalu dilandasi atas perkawinan yang sah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Salah satu fenomena yang dimaksud adalah adanya perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan.
Perkawinan siri menurut hukum positif dimaknai sebagai perkawinan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qobul, namun perkawinan itu tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA).  Perkawinan siri membawa dampak bahwa anak-anak yang kelak dilahirkan melalui perkawinan siri digolongkan ke dalam status anak di luar nikah. Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan : Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pengaturan hukum terhadap anak di luar nikah sebagaimana tersebut diatas ternyata dinilai tidak adil terutama bagi si anak.
Dari berbagai perspektif diuraikan tentang kelemahan pengaturan hukum dan perlindungan hukum terhadap anak di luar perkawinan. Atas dasar hal tersebut maka dilakukan hak uji materiil terhadap Pasal 43 Ayat 1 UU Nomor I Tahun 1974 yang pada gilirannya melahirkan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010.  Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut  kedudukan hukum sekaligus akibat hukum bagi anak di luar nikah setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan anak lahir di luar nikah dengan hubungan :
Ø  Hubungan nasabnya
Ø  Hubungan hak waris yang diterima
Ø  Hubungan hak mendapatkan nafkah
2.      Bagaimana kedudukan anak lahir di dalam perkawinan siri dengan hubungan :
Ø  Hubungan nasabnya
Ø  Hubungan hak waris yang diterima

1.3 Tujuan Dan manfaat
            Dalam makalah yang sudah dibuat oleh penulis adalah bertujuan untuk mengetahui suatu putusan uji materil Mahkamah Konstitusi pasal 43 ayat Udang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan kedudukan seorang anak yang lahir di luar nikah dengan suatu hubungan menurut hubungan nasabnya, hak waris dan hak untuk mendapatkan nafkah.
            Tidak hanya itu penulis dalam makalah ini ingin sedikit menjelaskan kepada pembaca untuk mengetahui suatu putusan Mahkamah Konstitusi pasal 43 ayat Udang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan melihat perkawinan yang dilakukan secara sirih, kemudian bagaiaman kedudukan akan dalam pernikahan siri tersebut menurut hubungan nasab dengan orangtuanya serta hubungan hak waris yang diterima oleh sang anak.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Status Anak Lahir di Luar Nikah
Berkaitan dengan hak keperdataan yang dimaksud dalam putusan MK tersebut, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, juga menjelaskan, hak perdata adalah hubungan yang mengatur hak dan kewajiban seseorang dengan orang lain. Dalam putusan pasal anak di luar nikah, hubungan tersebut menyangkut hak kemanusiaan sang anak. Hak perdata itu dapat berupa tuntutan pada pihak lain seperti ganti rugi, baik yang materiil maupun yang imateriil, pemenuhan kewajiban tertentu, santunan, perhatian, pembinaan, biaya hidup. Dengan memberikan hak perdata anak luar kawin, sambung Sodiki, artinya hukum telah memanusiakan manusia, dan tidak menjadikannya sosok manusia yang didiskriminasi oleh apapun dan siapapun.[1]
2.1.1        Status Anak Lahir di Luar Nikah  dengan Hubungan nasab
Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materil pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 sehingga pasal tersebut harus dibaca menjadi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan / atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.  Sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi yang telah dikemukakan sebelumnya, pertimbangannya sangat logis dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan bagi anak di luar perkawinan tersebut agar dia mendapat jaminan kehidupan dan tidak lagi mendapat stigma negatif dalam pergaulan sehari-hari lantaran dosa kedua orang tuanya.
Hubungan nasab seorang anak zina atau anak yanga lahir bukan dari perkawinan yang sah hanya dinasabkan kepada ibunya, hal ini telah jelas dari hadis Nabi dan pendapat ulama[2]. Hadis-hadis yang terkait dengan hubungan nasab anak zina antara lain hadis :
1.      hadis riwayat Abu Daud yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya
2.      Menurut Imam Syafi’i, anak zina tidak disabkan kepada bapaknya, akan tetapi kepada ibunya.
3.      hadis riwayat Bukharî dan Muslim.
Hal ini bisa dipahami, karena perzinaan tidak menimbulkan hubungan nasab. Para hakim MK, terutama Ketua MK, Moh. Mahfud MD dalam berbagai forum dan pertemuan selalu menjelaskan bahwa hubungan perdata berbeda dengan hubungan nasab. Mahfud menjelaskan bahwa anak yang lahir di luar nikah diakuinya memang tidak memiliki nasab, akan tetapi anak tersebut punya hak keperdataan.[3]
2.1.2        Status Anak Lahir di Luar Nikah  dengan Hubungan Hak Waris
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang memberikan hubungan keperdataan kepda anak lahir di luar nikah dengan anak biologisnya, termasuk hak waris, akan tetapi waris diartikan berbeda dengan aturan dalam hukum Islam sangatlah tepat. Penjelasan bahwa warisan yang diberikan kepada anak tersebut dilakukan dengan cara wasiat wajibah, merupakan suatu upaya untuk menghindari adanya pertentangan antara putusan tersebut dengan hukum Islam, karena menurut hukum Islam kewarisan muncul karena adanya ikatan nasab atau adanya perkawinan.
Wasiat wajibah adalah suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat secara suka rela agar diambil hak atau benda peningalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu pula. Dalam Hukum BW (Hukum Positif) istilah wasiat wajibah disebut dengan Plat veervurlling, secara garis besar antara pergantian kedudukan atau mawali dengan wasiat wajibah hampir sama. Perbedannya jika dalam penggantian kedudukan adalah menggantikan hak sesuai dengan hak yang diterima orang tuanya.[4]
2.1.3 Status Anak Lahir di Luar Nikah  dengan  Hak Mendapatkan nafkah
Berkaitan dengan nafkah atau biaya penghidupan anak, berdasarkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak diwujudkan dalam nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban lain berupa penghukuman terhadap ayah biologisnya untuk membayar sejumlah uang atau harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa. Sebab ketentuan tentang nafkah anak dan waris itu berkaitan dengan nasab, padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya.
 Pemberian nafkah terhadap seorang anak merupakan konsekuensi dari adanya ikatan nasab seorang anak dengan ayahnya. Hubungan keperdataan menurut putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, tidak berlaku untuk ikatan nasab bagi warga negara yang beragama Islam. Oleh karena itu, maka anak yang lahir bukan dari sebuah perkawinan yang sah tidak berhak akan nafkah dari ayah biologisnya. Namun demikian, sang ibu dan anak berhak menuntut kepada ayah biologisnya tersebut untuk memberikan biaya hidup kepada sang anak sampai ia dewasa.[5]

2.2 Mahkamah Konstitusi dalam Putusan bagi Perkawinan Siri
            Nikah siri adalah pernikahan yang dilaksanakan hanya berdasarkan hukum agama atau adat dan tidak mengikuti aturan hukum Negara. Atau dengan kata lain pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (bagi orang Islam) atau Kantor Catatan Sipil (bagi orang non-Islam) untuk mendapat pengakuan keabsahannya dari Negara. perkawinan tanpa adanya pencatatan dari pihak yang berwenang ini adalah perkawinan yang dilakukan secara sah menurut agama, atau bisa dikatakan bahwa pernikahan tersebut lengkap secara material, akan tatapi secara formal pernikahan yang seperti ini belum lengkap, karna belum tercatat dalam kantor urusan agama atau catatan sipil.  Meskipun  dalam agama tidak diharuskan demikian, akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan mengatakan bahwa setiap pernikahan diharuskan dicatat berdasarkan pearaturan perundang-undangan.[6]
2.2.1        Dampak bagi status perkawinan siri dalam status anak
Dalam hal ini MK memberikan ruang bagi pembuktian tersebut,  yaitu melalui bukti berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, seperti tes DNA (Deoxyribonucleic acid). Secara tegas ptusan MK menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Jadi, perkawinan yang tidak dicatatkan keabsahannya dikuatkan oleh putusan MK No. 46/PUU-VIII/2012. Pencatatan hanya sebagai syarat admisnistratif yang tidak menentukan sah dan tidaknya suatu perkawinan. Pencatatan hanya sebagai pendaftaran dalam lembar negara yang berfungsi sebagai penguat, atau bukti otentik untuk menjamin kepastian hukum terhadap akibat-akibat hukum yang muncul dari perkawinan tersebut. Anak yang lahir dari perkawinan siri tersebut juga merupakan anak sah yang berhak atas penghidupan yang layak dari kedua orang tuanya. Hubungan nasab Seorang anak yang lahir dari perkawinan yang sah (dalam hukum islam) maka mempunyai hubungan nasab dengan Bapaknya. Dalam kaidah hukum Islam anak selalu dinasabkan kepada Bapaknya.[7]
2.2.2        Dampak bagi status perkawinan siri dalam hubungan pewarisan.
Masalah kewarisan anak dalam hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam KHI, khusunya pasal 174 ayat (1) a dan pasal 176
Ø  Pasal 174 ayat 1 huruf a
a.       Menurut hubungan darah:
v  Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek
v  Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
Ø  Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan analisis penulis
Berdasarkan teori perlindungan hukum, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memang berusaha untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak anak luar kawin. Hal ini terlihat dari akibat nyata putusan Mahkamah Konstitusi, kini kedudukan anak luar kawin dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari  hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan  terutama hak waris.  Akan tetapi di sisi lain, putusan tersebut terkesan melemahkan fungsi dan makna lembaga perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah menyebabkan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan apalagi sekedar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah.
Hal ini sangat menurunkan derajad kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan, bahkan pada tingkat ekstrem dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lagi lembaga perkawinan karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempunyai implikasi  pencemaran terhadap lembaga hukum perkawinan itu sendiri, mengacaukan silsilah keturunan, tidak terjamin adanya ketertiban umum dan akan melenyapkan sendi-sendi tatanan kehidupan manusia yang layak dan bermartabat.



DAFTAR PUSTAKA
Rofiq Ahmad,  Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
Imam Mustofa:” Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 Terhadap Hukum Keluarga di Indonesia”(Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro)
Saat mengisi kuliah Umum di Sekolah Tinggi Agama Islam  Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung pada tanggal 30 Maret 2012
UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Putusan Mahkamah Konstituasi 46/PUU-VIII/2010
Kompilasi Hukum Islam (KHI)



[1] Penjelasan Wakil Ketua MK RI Achmad Sodiki yang disampaikan pada saat Seminar Nasional “Eksistensi Anak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, pada tanggal 12 Mei 2012.
[2] Imam Mustofa:” Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 Terhadap Hukum Keluarga di Indonesia”(Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro)hlm 7.
[3] Saat mengisi kuliah Umum di Sekolah Tinggi Agama Islam  Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung pada tanggal 30 Maret 2012
[4] Ahmad Rofiq,  Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 184
[5] Imam Mustofa:” Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 Terhadap Hukum Keluarga di Indonesia”(Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro)hlm8-9
[6] Lihat UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
[7] Putusan Mahkamah Konstituasi 46/PUU-VIII/2010, hlm 35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stratifikasi Sosial

 Latar Belakang Masyarakat dengan segala aspek yang mencakup di dalamnya merupakan suatu objek kajian yang menarik untuk diteliti. Begitu...