Jumat, 23 Maret 2018

Riba, Bunga Bank dan Perbankan Syariah

PENDAHULAUN
BAB I
1.1  LATAR BELAKANG
Islam mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya aalah dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan sampai merugikan dan menyengsrakan orang lain. Contoh peminjaman yang merugikan adalah sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi/akad.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. Hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. Jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya.
Dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya, yaitu bila akad ditetapkan di awal persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. Berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Riba?
2.      Apa saja macam-macam dari Riba?
3.      Apa Hikmah dilarangnya Riba?
4.      Bagaimana Hukum dari Bunga Bank?
5.      Apa itu Perbankan Syariah?
6.      Bagaimana sistem dari Perbankan Syariah?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Riba
Pengertian kalimat dalam Bahasa arab adalah “azziyadah” yang mempunya arti tambahan, dan dinamakan demikian karena ada penambahan pengembalian hutang yang dipinjam dari seseorang. Sedangkan menurut arti syar’i adalah suatu akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu (emas/ perak atau makanan) yang tidak diketahui kesamaannya dalam ukuran timbangan syariat (agama islam) ketika terjadinya akad (dan itu disebut riba fadl), atau dengan mengakhirkan penyerahan barang atau harganya setelah terjadinya transaksi tanpa menyebutkan waktu (dan itu disebut riba yadh) atau dengan menyebutkan waktu kapan terjadinya penyerahannya (dan itu disebut riba nasa’).[1] Jadi riba adalah kegiatan pembuangan uang dalam berbagai bentuk yang menurut pemahaman ulama tafsir dan fiqih hukumnya haram dalam kaitannya dengan bunga bank yang terdapat pada bank- bank konvensional.
Riba itu haram dan hukum riba hanya terdapat pada emas, perak dan makanan-makanan. Adapun yang dimaksud dengan makanan-makanan, ialah segala makanan manusian yang dimaksudkan untuk kekuatan, merasakan lezat/ nikmatnya atau berobat. Dan riba tidak terlaku pada selain yang tersebut diatas.  Tidak boleh memjual emas dengan emas, demikian pula menjual perak dibeli dengan perak, baik keduanya kecuali jika keduanya kecuali berat timbangannya sama.
2.2 Macam-macam Riba
Segala macam transaksi riba hukumnya adalah haram bahkan termasuk dosa besar, oleh karena itu kenalilah baik-baik segala macam transaksi riba dibawah ini supaya terhindar dari transaksi riba yang diharamkan yaitu sebagai berikut:
a)      Riba fadhl
Yaitu jual beli harta ribawi (emas, perak ataupun makanan ) dengan sesama jenisnya dengan adanya nilai tambahan pada harga ataupun pada barang yang dibelinya misalnya si Ahmad membeli emas Saudi seberat 10 gram milik si Ali dengan harga berupa emas indonesia seberat 12 gram (karena biasanya emas Saudi lebih bagus dari emas Insonesia), atau membeli beras Cianjur 5 kilo dengan beras murahan dengan harga 7,5 kilo. ( sedangkan solusinya jika ingin melaksanakan transaksi semacam itu supaya tidak terjat hukum riba adalah dengan cara membelinya menggunakan uang tunai bukan dengan barng sejenisnya).[2]
b)      Riba yad
Yaitu jual beli harta ribawi (emas, perak ataupun makanan) baik dengan sejenisnya maupun tidak dengan sejenisnya dalam keadaan keduannya berpisah dari majlis tempat terjadinya transaksi sebelum menyerahkan harga atau barang yang dibelinya qakan tetapi tanpa menyebutkan waktu, misalnya si Ahmad membeli emas dari si Ali 10 gram dengan 10 gram juga, atau si Ali menjual beras 10 kilo  dengan jagung seberat 15 kilo tapi barang maupun harganya tidak diserahkan ditempat terjadinya transaksi tersebut.[3]
 Jadi  solusinya jika harus melaksanakan transaksi semacam ini supaya tidak terjadi hukum riba, maka harus disiapkan dahulu barang maupun harganya sehingga tidak berpisah kecuali barang sudah diserahkan kepada si pembeli dan si penjual mendapatkan hargnya di tempat terjadinya transaksi tersebut sebelum mereka berdua berpisah, dan kalau tidak seperti itu misalnya barangnya atau harganya atau keduanya terlambat diserahkan kepada yang berhak maka hal itu termasuk riba.
c)      Riba Nasa’
Yaitu jual beli harta ribawi (emas, perak ataupun makanan) dengan sejenisnya  maupun tidak dengan menunda penyerahan barang yang dibeli atau harganya atau menunda penyerahan keduanya sekaligus dengan menyebut tempo tertentu untuk penyerahannya sesuai dengan kesepakatan keduanya, misalnya si Ahmad menjual emasnya seberat 10 gram kepada si Ali dengan harga berupa emas seberat 10 gram juga, akan tetapi keduanya tidak menyerahkan barang maupun harganya di tempat terjadinya transaksi tersebut tetapi akan diserahkan keesokannya atau dalam jangka waktu sebulan sesuai dengan kesepakatan diantara mereka berdua, maka tidak boleh menjual harta ribawi dengan harga tempo atau dengan hutang akan tetapi harus dengan harga kontan dan itupun harus diserahkan di tempat terjadinya transaksi tersebut.[4]
Dan termasuk  jenis dengan riba semacam ini mengkreditkan emas dan perak, jadi solusinya jika akan melakukan transaksi jual beli harta ribawi semacam ini maka harus disiapkan dulu harga dan barangnya sebelum melakukan transaksi itu dan jika belum memiliki harganya maka di tunda dahulu untuk memilikinya sampai Allah Swt. Memberi rizki kepadanya, karena tidak boleh membeli emas maupun perak dengan harga kredit.
d)     Riba Qord
Yaitu meminjam uang dengan adanya keuntungan bagi si peminjam, baik keuntungkan berbentuk uang dan itu yang umum dilakukan oleh para rentenir misal si Zaid meminjamkan uang kepada si Qumar sebesar Rp 1 juta dengan kesepakatan pemberikan bunga setiap bulan Rp 100 ribu, atau berbentuk jasa misalnya si Zaid meminjam uang Rp 1 juta kepada  si Qumar dengan catatan dia harus turut kepada perintahnya, atau memijatnya dll, atau dengan keuntungan berbentuk lainnya walhasil setiap pinjaman yang menguntungkan si peminjam dalam hal apapun bentuk keuntungan tersebut keuntungan tersebut maka hal itu dihukumi riba.[5]
2.3              Hikmah diharamkannya riba.
Apapun yang di syariatkan oleh allah swt.dalam syariatnya pasti mengandung banyak hikmah  baik yang sudah di ketahui,dimana semua hikmah nya itu akan kembali kemanfaatannya kepada kita baik di dunia maupun di akhirat kelak,dan diantara hikmah yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut:[6]
1.      Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta orang lain tanpa ganti,misalnya jika seseorang meminjam uang sebanyak Rp.10 ribu lalu harus di kembalikan Rp 20 ribu bukankah orang yang meminjamkanmya mendapatkan uang imbalan karena hutangnya tersebut sebesar Rp 10 ribu,tanpa ganti dan imbalan apapun dari yang meminjamkannya,padahal harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar setara dengan kehormatan darahnya.
Oleh karena itu mengambil harta orang lain tanpa ganti dan imbalan apapun,sudah pasti hukumnya adalah haram.
2.      Jika pemasukan seseorang bergantung pada transaksi riba,maka hal itu dapat menghalanginya dari kesibukan bekerja.sebab kalau si pemilik uang yakin,bahwa dengan melalui riba dia akan mendapatkan tambahan uang,baik kontan maupun berjangka,maka dia akan menyepelehkan persoalan mencari penghidupan,sehingga bisa jadi dia tidak mau menanggung beratnya usaha,dagang maupun usaha usaha lainnya.hal semacam itu akan berakibat terputusnya sebab-sebab kebutuhan karena tidak dapat di sangkal lagi,bahwa kemaslahatan dunia seratus persen di tentukan oleh perdagangan,suatu pekerjaan,perusahaan dan pembangunan.
3.      Transaksi riba akan menyebabkan hilangnya sifat ma’ruf(berbuat baik hati) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam.sebab kalau riba itu di halalkan,maka hal itu akan memberatkan si peminjam misalnya menngembalikan  uang Rp.200.000 dari jumlah Rp.100.000 yang di pinjamnya,sehingga dia seakan akan senang  menikmati kenikmatan di atas kesengsaraan seseorang sehingga hilang perasaanbelas kasih d[7]an berbuat ma’ruf(kebaikan) kepada sesama.
4.      Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya,sedangkan yang meminjam adalah orang yang tidak mampu.maka jika transaksi riba itu di perbolehkan,berarti memberikan jalan kepada para orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah untuk menambah harta mereka dengan cara semena mena,dan hal itu sama sekali tidak mencerminkan sifat dari seorang mukmin dimana di antara sifat kaum mukmin adalah mereka saling mengasihi dan saling membantu di antara sesama
2.4  Dalil di haramkannya transaksi riba.
Adapun dalil/dasar di haramkan transaksi riba adalah dengan dasar nash Al-quran sebagai berikut:
Ø يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
 “wahai orang orang beriman bertaqwalah kalian kepada allah dan tinggalkanlah segala macam transaksi riba(QS.Al-baqarah :278)
Ø يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.dan allah tidak menyukai seti[8]ap orang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa”(QS.Al-baqarah:276)

Ø الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“orang orang yang makan (mengambil)riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)penyakit gila. Keadaaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa  yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya” (QS.Al-Baqarah : 275)
2.5 Pandangan Ulama tentang Bungan Bank
Kegiatan ekonomi islam, berpijak pada kemanusiaan,diwujudkan dalam bentuk tolong menolong. Syirkah adalah formula utama kegiatan ekonomi yang dikembangkan pada masa itu dengan sensi ta’awun. Dengan demikian, kegiatan ekonomi modern dengan formula apa saja sepanjang tidak bertentangan degan ta’awun dan kemanusiaan tentunya akan diterima oleh islam.
Dengan pendekatan sosioekonomi dapat diketahui bahwa riba nasi’ah mempunyai karakter berikut.
1.      Riba merupakan kegiatan ekonomi yang menyimpang dari asas kemanusian dan keadilan. Dalam sejarah terbentuknya hukum islam, pelarangan riba termasuk dalam subsistem tata ekonomi yang dikehendaki islam, yang berpijak pada keadilan dan kemanusiaan.
2.      Fenomena praktik riba membawa gambaran bahwa riba menghadapkan orang kaya dengan orang miskin, kendatipun terdapat juga antarorang kaya, kasusnya sedikit.
Dari fenomena itu diketahui bahwa riba merupakan senjata efektif untuk mengembangkan kemiskinan dan penindasan orang kaya terhadap kaum lemah.
Riba merupakan perjanjian berat sebelah, dan secara psikologis, riba memaksa satu pihak menerima perjanjian yang sebenarnya tidak didasarkan kerelaan.
AL-Qur’an berbicara tentang riba pada empat tempat. Masing-masing kelompok ayat dikaitkan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya agar konteks dan pesannya secara utuh dapat dimengerti dengan baik, dan akan dapat ditemukan riba secara utuh yang sesuai dengan pesan AL-Qur’an dalam kaitannya dengan praktik bunga pada industri perbankan . riba sebagai suatu bentuk kegiatan ekonomi terlarang, disebut sebanyak delapan kali dalam AL-Qur’an di antaranya dalam sura Ar-Rum, An-Nisa, Ali Imron, masing-masing satu kali dan lima kali dalam surat Al-Baqarah, masing-masing dalam ayat 275, 276, dan 278.
Dalam Al-Qur’an menurut para mufasir proses pengharaman riba disyariatkan secara bertahap. Tahap pertama, Allah SWT.menunjukkan bahwa riba bersifat negatif. Pernyataan tersebut dsampaikan dalam surat Ar-Rum ayat 39:
ومااتيتم من ربا لير بوا في اموال الناس فلا ير بواعنذالله.....(الروم:39)
Artinya : “dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah....”
Tahap kedua, Allah memberikan isyarat pada keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba dikalangan masyarakat yahudi. Hal ini dapat dilihat dalam surat An-Nisa ayat 161:
واخذ هم الر بوا وقد نهوا عنه واكلهم اموال الناس بالبا طل  واعتد نا للكفرين منهم عذا با اليما (النساء:١٦١)
Artinya: “Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan  harta orang dengan cara tidak sah (bathil). Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka adzab yang pedih.”
Tahap ketiga, Allah SWT. Mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas, hal ini disampaikan dalam surat Ali Imran 130:
يا يها الذين امنوا لاتاء كلوا الربوا اضعافا مضعفة...(العمران:١٣)
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlibat ganda....”
Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan Allah SWT. Melalui firman-nya pada surat Al-Baqarah: 275, 276, dan 278. Dalam ayat 275 Allah SWT. Menjelaskan bahwa jual beli sangat berbeda dengan riba, dalam ayat276 Allah menyatakan akan memusnakan riba, dan dalam ayat 277 Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini menurut para ulama fiqh terjadi pada akhir abad ke-8 atau abad ke-9 H.
Dari uraian dimuka diketahui bahwa setiap berbicara tentang riba, Al-Qur’an juga menyebutkan istilah zakat atau padanannya, yang selalu diiringi dengan antitesisnya. Hal ini memberikan kesan umumbahwa yang dilarang mempratikkan riba adalah orang yang berharta sebab mereka juga diperintahkan untuk mengeluarkan zakat sebagai padanannya. Kedua jenis transaksi ini, baik zakat maupun riba dilakukan oleh kedua belah pihak. Pihak pertama yaitu pihak menerima zakat dan pembayar riba adalah orang miskin, sedangkan pihak kedua,yaitu pihak pembayar zakat dan penerima riba adalah orang kaya. Dalam konteks ini, orang kaya seharusnya mengeluarkan zakat sebagai santunan terhadap  orang miskin, tetapi justru menindas dan memeras orang miskin dengan mempratikkan riba.
Praktik riba dengan formula “penambahan atas pinjaman” yang pada umumnya memberikan pinjaman diperankan oleh orang kaya dengan penerima orang miskin telah menimbulkan kesengsaraan, yang dalam istilah arab dikenal dengan dzulm. Tampaknya, kezaliman yan menimpa orang miskin sangat ditekankan dalam Al-Quran. Sekiranya penambahan itu tidak mendatangkan kesengsaraan, tentu Al-Quran tidak akan membicarakannya,. Dengan demikian, secara esensial, riba tidak terlepas dari zulm. Dalam kerangka seperti ini menurut sebagian para ulama, ziyadah semata belum cukup untuk disebut riba. Meskipun  kesan itu begitu kuat, dalam kenyataannya, praktik riba juga dilakukan antara orang-orang kaya. Apabila pijaman itu dilakukan antar orang kaya, gambaran sulitnya pengambilan utang seperti yang dialami orang miskin dan timbulnya zulm tidak terlihat, kendatipun kemungkinan itu tetap ada.
Dengan demikian, riba dalam Al-Quran dapat dilihat dengan karakter berikut.
1.      Riba menjadikan pelakunya kesetanan sehingga tidak dapat membedakan antara ang baik dan yang buruk.
2.      Riba merupakan transaksi dengan tambahan yang dijanjikan didepan dengan dampak zulm, ditambah dengan adanya “lipat ganda”. Dalam surat Ali Imran, sifat lipat ganda ini yang ditekankan. Hal ini mengindikasikan zulm itu relevan dengan lipat gand.
Berdasarkan Al-Quran yang selalu menghadapkan riba dengan zakat dapat dilihat bahwa riba menjauhkan sifat persaudaraan sebab zakat mempunyai sifat sebaliknya.
Golongan ulama tafsir seperti Al-Jashas dan Ibnu Arabi berpendapat bahwa riba telah dikenal orang arab ketika Al-Quran turun, bahkan mereka telah melaksanakannya. Ayat-ayat riba turun ntuk menegaskan bahwa riba yang selama itu mereka praktikka tidak boleh dilakukan lagi. Dengan demikian, Ibnu Arabi membedakan keberadaan istilah riba dengan shalat dan zakat.
Terlepas dari pendekatan yang diambil, kedua ulama ini spendapat bahwa riba yang dilarang dalam Al-Quran adalah riba yang formulasinya seperti dipraktikkan oang-orang arab semasa jahiliyah. Dari uraian para mfasir tentang riba, baik dituangkan dalam definis maupun dalam gambaran praktis pada masa jahiliah, riba yang mereka maksud diidentifikasikan sebagai berikut:
1.      Terjadi karena ransaksi pinjam meminjam
2.      Ada tambahan dari pinjaman ketika melunasi dan tambahan tersebut dijanjikan terlebih dahulu. Tambahan diperhitungkan sesuai dengan jangka waktu pinjaman.
Lebih spesifik, pemahaman tenang riba dikemukakan oleh fakhr Ar-Raz, yaitu:
1.      Riba memungkinkan seseorang memaksaakan pemilik harta dari orang lain tanpa imbalan
2.      Riba menghalangi pemilik modal untuk ikut serta mencari rezeki
3.      Riba merusak tatanan hidup tolong-menolong, saling menghormati
4.      Dengan riba, pemodal atau debitur akan semakin kaya, sementara kreditur semakin miskin
5.      Keharaman riba telah ditetaokan oleh nash yang sudah pasti, kendatipun orang tidak mengetahui persis motif pelanggaranya.
2.5.1 Sekilas Tenang Bunga
Di kalangan organisasi islam indonesia terdapat perbedaan tentang bunga bank. Majelis Tarjih muhammadiyah misalnya, bahwa illat keharaman riba adalah kezaliman (zulm) maka bunga bank bersifat mutasyabihat. Apabila banknya adalah bank swasta, terhadap sesuatu yang mutsyabihat, syara’ memerintahkan untuk menghindarinya. Adapun bunga bank yang terdapat pada bank-bank pemerintah ukumya boleh dan tidak termasuk riba. Sedangkan dalam Nahdatul ulama menetapkan bahwa bunga bank mempunyai tiga hukum, yaitu:
1.      Haram, sebab termasuk tangyang diambil dari bunga
2.      Halal, seba tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak begitu saja dijadikan syarat
3.      Syubhat, sebab para ahli hukum  masih berbeda pendapat tentang hukumnya
2.5.2 Pengertian dan Macam Bunga
Bunga merupakan pembayaran keatas modal Yang dipinjam dari pihak lain berupa presentase, seperti 10%, 12%, atau 15%. Presentase dari modal dikenal dengan tingkat bunga dalam setahun. Seandainya tingkat bunga 15% berrti tingkat bunga dari modal yang dipinjamkan adalah 15% setahun.
Apabila dihubungkan dengan salah satu lembaga keuangan seperti bank konveional, bunga bank -diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank berdasarkan prinsip konvesional kepada nasabah yang membeli atau menjual prodaknya atau harga yang harus dibayar nasabah (yang memeliki simpanan) dengan yang harus dibayar nasabah kepada bak (nasabah yang memperoleh pinjaman)
Pada dasarnya, bunga pada pengertian ekonomi mikro atau makro sama karena bungan merupakan nilai modal dari pihak peminjam kepada yang meminjam. Perbedaannnya ada pada wadah pengoperasiannya. Pada ekonomi mikro, peminjam beroperasi secara langsung antara satu pihak dan pihak lain. Sementara wadah ekonomi makro seperti bank, peminjaman beroperasi secara tidak langsung dengan maemakai pihak ketiga secara perantara (pengelola).
Suatu hal yang perlu diperhatikan oleh pemilik modal selain tingkat bunga adalah tingkat inflasi. Jika tingkat inflasi lebih tinggi dari tingkat bunga, pemilik modal akan rugi. Logikanya disesuaikan dengan perhitungan bahwa modal ditambah bunga nilai rilnya lebih rendah daripada nilai ril modal sebelum dibungakan. Kondisi ini melatarbelakangi pengklasifikasian bunga pada tingkat bunga nominal dan tingkat bunga ril. Contoh, jika tingkat bunga adalah 15% pertahun, tiba-tiba pada waktu yang sama terjadi kenaikan harga sebesar 10%, tingkat bunga nominalnya adalah 15% dan tingkat bunga ril adalah 15%-10% =5%.
Dalam aktivitas perbankan sehari-hari ada dua komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank, yaitu nasabah penyimpan uang dan nasabah peminjam uang dengan demikian, dapat diklasifikasikan bahwa bunga bank dapat diklasifikasikan menjadi bunga simpanan dan bunga pinjaman.
       2.5.3 Perhitungan Sistem Bunga 
Dengan memperhatikan perhitungan tingkat bunga, terkesan bahwa dalam perekonomian hanya terdapat satu tingkat bunga,. Ternyata tingkat bunga itu cukup bervariasi antara satu orang dengan yang lain (sebagai penanam modal atau peminjam modal) dan antara satu bank dan yang lain. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besar kecilnya tingkat bunga, yaitu: perbedaan resiko, jangka waktu peminjaman, biaya administrasi peminjaman, kebutuhan dana, persaingan, kebijakan pemerintah, target laba yang diinginkan, kualitas jaminan, reputasi perusahaan, produk yang kompetetif, hubungan baik, dan jaminan pihak ketiga, (lihat: sadono sudikno dan kasmir).[9]
       2.5.4 Bagi Hasil sebagai Solusi Masalah Bunga Bank
Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan islam dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzaraah, dan al-musyaqah. Akan tetapi, prinsip yang paling banyak adalah prinsip musyarakah dan mudharabah, sedangkan  muzaraah dan musyaqah dipergunakan khusus untuk planatation financing atau pebiayaan pertanian dalam bank islam.
1.      Al-Musyarakah
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, yaitu masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau ekspertisi dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung secara bersama sesuai dengan kesepakatan.
Musyarakah ada dua jenis, yaitu pemilihan dan akad. Pemilikan tercipta karena warisan, asiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset atau lebih,sedangkan akad tercipta dengan cara kesepakatan dua orang atau lebih untuk memberikan modal secara berserikat dan sepakat untuk berbagi keuntungan dan kerugian. Bentuk-bentuknya dapat berupa syirkah al-mudarabah.
Adapun aplikasinya dalam dunia perbankan dapat berbentuk pembiayaan proyek, yaitu nasabah bank sama-sama menyediakan dana untuk mendanai suatu proyek, atau berbentuk modal ventura, yaitu penanam modal dilakukan oleh lembaga keuangan untuk jangka waktu tertentu setelah bank melakukan investasi atau menjual sahamnya.
2.      Al-Mudharabah
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, dengan cara pihak pertama (shahibul amal) menyediakan dana seluruhnya dan pihak kedua menjadi pengelola kesepakatan keuntungan dan kerugian dihitungkan dalam kontrak. Meskipun demikian, selama tidak bersifat kelalaian dari pengelola, kerugian itu sepenuhnya ditanggung oleh shahibul mal
Bentuk mudharabah dapat berupa mudharabah mutlaqah, yaitu kerja sama antara shahibul maal dan pengusaha tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Bentuk lain mudharabah muqayyabah, yaitu pengusaha dibatasi dengan jenis waktu, usaha, atau tempat usaha. Dalam dunia perbankan, praktik mudharabah ini diterapkan dalam bentuk tabungan berjangka, deposito spesial (special investment), pembiyaan modal kerja, atau investasi khusus yang disebut dengan mudharabah muqayyadah.

2.6 Perbankan Syariah
adalah suatu sistem bank yang berbasis aturan berdasarkan hukum islam, yang dikenal sebagai syariat.Larangan riba yang secara harfiah berarti “kelebihan” dan ditafsirkan sebagai “ peningkatan modal yang tidak bisa dibenarkan dalam pinjaman” adalah ajaran pokok dari sistem keuangan syariah. Hukum Islam mendorong penerimaan keuntungan tetapi melarang pengenaan bunga karena keuntungan ditentukan setelah kegiatan (expost) dimana melambangkan kesuksesan kewirausahaan dan penciptaan kekayaan, sedangkan bunga ditentukan sebelum kegiatan (ex-ante) sebagai biaya yang diakui apapun hasil dari operasi bisnis yang dilakukan dan mungkin saja tidak memberikan kekayaan. Keadilan sosial menurut pemberi pinjaman dan peminjam berbagi keuntungan maupun kerugian secara adil dan proses akumulasi serta distribusi kekayaan dalam perekonomian dilakukan secara adil dan mewakili produktivitas yang sebenarnya.
2.6.1 Bentuk akad pada perbankan Syariah
Ø  Akad Tijarah
Konsep akad ini adalah adanya pertukaran, yakni pertukaran tersebut bisa dilakukan antara benda dan benda, benda dan uang, atau sebaliknya. Pada intinya, akad ini merupakan akad niaga. Oleh karena itu dalam akad ini para pihak boleh mengambil keuntungan dari transaksi niaga yang ada.[10]
Ø  Akad Tabarru’
Merupakan akad yang tidak mengandung unsur pertukaran kepemilikan maupun pertukaran benda dengan benda atau uang dengan benda. Berbeda dengan akad tijarah yang merupakan akad niaga, akad tabarru’ ini memiliki sifat sosial (tolong menolong), dan tidak mengambil keuntungan dari transaksi yang menggunakan akad ini.[11]
2.6.2 Sistem keuangan Bank Syariah
Ø  Prinsip titipan atau simpanan pada bank syariah
Dalam fiqh islam prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadiah. Al-wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Dengan konsep ini, pihak yang menertima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, dan pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.[12]
Ø  Bagi hasil (Profit-sharing)
Dalam perbankan syariah prinsip bagi hasil dapat dilakukan dalam empat akad yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzaraah, dan al-musaqah. Tetapi prinsip yang paling sering digunakan adalah al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzaraah al- musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank islam.[13]
1.      al-musyarah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing masing pihak memberikan konstribusi dana dan jasa dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan
2.      al-mudharabah adalah kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shohibul maal) menyediakan 100% modal sedangkan pihak lain menjadi pengelola.keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan. Dan kerugian ditangguang pemilik dana selama kerugian bukan akibat kelalaian pengelola.[14]
Ø  Jual beli (sale and purchase)
Terdapat tiga jenis jual beli yang dikembangkan dalam perbankan syariah yaitu bai’ al-murabahah. Bai’ as-salam, dan bai al-istishna.
1.      al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
2.      bai as-salam adalah pembelian barang yang dilakukan dikemudian hari , sedangkan pembayaran dilakukan dimuka
3.      bai al-istishna adalah kontrak antara penjualan antara penjual dan pembeli. Pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Sistem pembayaran dan harga berdasarkan kesepakatan: dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.

Ø  Prinsip sewa (operational lease and financial lease)
1.      Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah atau sewa, tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
2.      Al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik adalah sejenis perpaduan kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangna si penyewa.[15]
Ø  Jasa (fee-based service)
1.      Al-wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
2.      Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
3.      Al-hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
4.      Ar-rahn adalah menahan salah satu hak milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Dan barang yang ditahan memiliki nilai ekonomis.[16]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
      Riba adalah kegiatan pembuangan uang dalam berbagai bentuk yang menurut pemahaman ulama tafsir dan fiqih hukumnya haram dalam kaitannya dengan bunga bank yang terdapat pada bank- bank konvensional. Riba itu haram dan hukum riba hanya terdapat pada emas, perak dan makanan-makanan. Adapun yang dimaksud dengan makanan-makanan, ialah segala makanan manusian yang dimaksudkan untuk kekuatan, merasakan lezat/ nikmatnya atau berobat.
            Bunga bank pada pengertian ekonomi mikro atau makro sama karena bunga merupakan nilai modal dari pihak peminjam kepada yang meminjam. Perbedaannnya ada pada wadah pengoperasiannya. Pada ekonomi mikro, peminjam beroperasi secara langsung antara satu pihak dan pihak lain. Sementara wadah ekonomi makro seperti bank, peminjaman beroperasi secara tidak langsung dengan maemakai pihak ketiga secara perantara (pengelola).
Perbankan Syariah adalah suatu sistem bank yang berbasis aturan berdasarkan hukum islam, yang dikenal sebagai syariat.Larangan riba yang secara harfiah berarti “kelebihan” dan ditafsirkan sebagai “ peningkatan modal yang tidak bisa dibenarkan dalam pinjaman” adalah ajaran pokok dari sistem keuangan syariah. Hukum Islam mendorong penerimaan keuntungan tetapi melarang pengenaan bunga karena keuntungan ditentukan setelah kegiatan (expost) dimana melambangkan kesuksesan kewirausahaan dan penciptaan kekayaan, sedangkan bunga ditentukan sebelum kegiatan (ex-ante) sebagai biaya yang diakui apapun hasil dari operasi bisnis yang dilakukan dan mungkin saja tidak memberikan kekayaan. Adapun bentuk akad dari perbankan syariah ini adalah Akad Tijarah dan akad Tabarru’.





DAFTAR PUSTAKA
Baharun Segaf Hasan .Fiqih Muamalat(Bangil:Yayasan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah,)
Khosyi’ah Siah, fiqih muamalah perbandingan, (bandung:pustaka setia,2014),
Devita Purnamasari Irma, Suswinarno Akad Syariah, (Jakarta: Mizan Media Utama, 2011)
Jayadi Abdullah Beberapa Aspek tentang Perbankan Syariah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, april 2011)



[1] Ust.Segaf Hasan Bahrun. Fiqih Muamalat, 30.
[2] Ust.Segaf Hasan Bahrun. Fiqih Muamalat, 37.
[3] Ust.Segaf Hasan Bahrun. Fiqih Muamalat, 37.
[4] Ust.Segaf Hasan Bahrun. Fiqih Muamalat, 38.
[5] Ust.Segaf Hasan Bahrun.Fiqih Muamalat, 39.
[6] Segaf Hasan Baharun.Fiqih Muamalat(Bangil:Yayasan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah,). Hal 31
[7] Ibid,33
[8] Ibid,34
[9] siah Khosyi’ah, fiqih muamalah perbandingan, (bandung:pustaka setia,2014),hlm173.
[10] Abdullah Jayadi Beberapa Aspek tentang Perbankan Syariah hlm 22
[11] Abdullah Jayadi Beberapa Aspek tentang Perbankan Syariah hlm 22
[12] Irma Devita Purnamasari, Suswinarno Akad Syariah hlm hlm 24
[13] Ibid 1 hlm 81
[14] Abdullah Jayadi Beberapa Aspek tentang Perbankan Syariah hlm 26
[15] Irma Devita Purnamasari, Suswinarno Akad Syariah hlm 104
[16] Ibid 4 hlm 118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stratifikasi Sosial

 Latar Belakang Masyarakat dengan segala aspek yang mencakup di dalamnya merupakan suatu objek kajian yang menarik untuk diteliti. Begitu...