PENDAHULAUN
BAB I
1.1
LATAR
BELAKANG
Islam
mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya aalah
dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan sampai
merugikan dan menyengsrakan orang lain. Contoh peminjaman yang merugikan adalah
sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ada ganti
atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan
transaksi/akad.
Di sisi lain,
kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke
berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan
pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang
di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka
masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang
bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Dalam Islam,
memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram.
Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Pandangan ini juga yang mendorong
maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari
sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena
menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank
termasuk ke dalam riba. Hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu
termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. Jadi ketika kita sudah
menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya
dengan pasti. Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah
bagi hasil bagi deposannya.
Dampaknya akan
sangat panjang pada transaksi selanjutnya, yaitu bila akad ditetapkan di awal
persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran
untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal
dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. Berbeda
dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka
yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan
nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan Riba?
2.
Apa saja macam-macam dari Riba?
3.
Apa Hikmah dilarangnya Riba?
4.
Bagaimana Hukum dari Bunga Bank?
5.
Apa itu Perbankan Syariah?
6.
Bagaimana sistem dari Perbankan Syariah?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Riba
Pengertian
kalimat dalam Bahasa arab adalah “azziyadah” yang mempunya arti tambahan,
dan dinamakan demikian karena ada penambahan pengembalian hutang yang dipinjam
dari seseorang. Sedangkan menurut arti
syar’i adalah suatu akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu (emas/
perak atau makanan) yang tidak diketahui kesamaannya dalam ukuran timbangan
syariat (agama islam) ketika terjadinya akad (dan itu disebut riba fadl), atau
dengan mengakhirkan penyerahan barang atau harganya setelah terjadinya
transaksi tanpa menyebutkan waktu (dan itu disebut riba yadh) atau dengan
menyebutkan waktu kapan terjadinya penyerahannya (dan itu disebut riba nasa’).[1] Jadi riba adalah kegiatan
pembuangan uang dalam berbagai bentuk yang menurut pemahaman ulama tafsir dan
fiqih hukumnya haram dalam kaitannya dengan bunga bank yang terdapat pada bank-
bank konvensional.
Riba
itu haram dan hukum riba hanya terdapat pada emas, perak dan makanan-makanan.
Adapun yang dimaksud dengan makanan-makanan, ialah segala makanan manusian yang
dimaksudkan untuk kekuatan, merasakan lezat/ nikmatnya atau berobat. Dan riba
tidak terlaku pada selain yang tersebut diatas.
Tidak boleh memjual emas dengan emas, demikian pula menjual perak dibeli
dengan perak, baik keduanya kecuali jika keduanya kecuali berat timbangannya
sama.
2.2 Macam-macam Riba
Segala
macam transaksi riba hukumnya adalah haram bahkan termasuk dosa besar, oleh
karena itu kenalilah baik-baik segala macam transaksi riba dibawah ini supaya
terhindar dari transaksi riba yang diharamkan yaitu sebagai berikut:
a) Riba
fadhl
Yaitu
jual beli harta ribawi (emas, perak
ataupun makanan ) dengan sesama jenisnya dengan adanya nilai tambahan pada
harga ataupun pada barang yang dibelinya misalnya si Ahmad membeli emas Saudi
seberat 10 gram milik si Ali dengan harga berupa emas indonesia seberat 12 gram
(karena biasanya emas Saudi lebih bagus dari emas Insonesia), atau membeli
beras Cianjur 5 kilo dengan beras murahan dengan harga 7,5 kilo. ( sedangkan
solusinya jika ingin melaksanakan transaksi semacam itu supaya tidak terjat
hukum riba adalah dengan cara membelinya menggunakan uang tunai bukan dengan
barng sejenisnya).[2]
b) Riba
yad
Yaitu jual beli harta
ribawi (emas, perak ataupun makanan) baik dengan sejenisnya maupun tidak dengan
sejenisnya dalam keadaan keduannya berpisah dari majlis tempat terjadinya
transaksi sebelum menyerahkan harga atau barang yang dibelinya qakan tetapi
tanpa menyebutkan waktu, misalnya si Ahmad membeli emas dari si Ali 10 gram
dengan 10 gram juga, atau si Ali menjual beras 10 kilo dengan jagung seberat 15 kilo tapi barang
maupun harganya tidak diserahkan ditempat terjadinya transaksi tersebut.[3]
Jadi solusinya jika harus melaksanakan transaksi
semacam ini supaya tidak terjadi hukum riba, maka harus disiapkan dahulu barang
maupun harganya sehingga tidak berpisah kecuali barang sudah diserahkan kepada
si pembeli dan si penjual mendapatkan hargnya di tempat terjadinya transaksi
tersebut sebelum mereka berdua berpisah, dan kalau tidak seperti itu misalnya
barangnya atau harganya atau keduanya terlambat diserahkan kepada yang berhak
maka hal itu termasuk riba.
c) Riba
Nasa’
Yaitu
jual beli harta ribawi (emas, perak ataupun makanan) dengan sejenisnya maupun tidak dengan menunda penyerahan barang
yang dibeli atau harganya atau menunda penyerahan keduanya sekaligus dengan menyebut
tempo tertentu untuk penyerahannya sesuai dengan kesepakatan keduanya, misalnya
si Ahmad menjual emasnya seberat 10 gram kepada si Ali dengan harga berupa emas
seberat 10 gram juga, akan tetapi keduanya tidak menyerahkan barang maupun
harganya di tempat terjadinya transaksi tersebut tetapi akan diserahkan
keesokannya atau dalam jangka waktu sebulan sesuai dengan kesepakatan diantara
mereka berdua, maka tidak boleh menjual harta ribawi dengan harga tempo atau
dengan hutang akan tetapi harus dengan harga kontan dan itupun harus diserahkan
di tempat terjadinya transaksi tersebut.[4]
Dan termasuk jenis dengan riba semacam ini mengkreditkan
emas dan perak, jadi solusinya jika akan melakukan transaksi jual beli harta
ribawi semacam ini maka harus disiapkan dulu harga dan barangnya sebelum
melakukan transaksi itu dan jika belum memiliki harganya maka di tunda dahulu
untuk memilikinya sampai Allah Swt. Memberi rizki kepadanya, karena tidak boleh
membeli emas maupun perak dengan harga kredit.
d) Riba
Qord
Yaitu
meminjam uang dengan adanya keuntungan bagi si peminjam, baik keuntungkan
berbentuk uang dan itu yang umum dilakukan oleh para rentenir misal si Zaid
meminjamkan uang kepada si Qumar sebesar Rp 1 juta dengan kesepakatan
pemberikan bunga setiap bulan Rp 100 ribu, atau berbentuk jasa misalnya si Zaid
meminjam uang Rp 1 juta kepada si Qumar
dengan catatan dia harus turut kepada perintahnya, atau memijatnya dll, atau
dengan keuntungan berbentuk lainnya walhasil setiap pinjaman yang menguntungkan
si peminjam dalam hal apapun bentuk keuntungan tersebut keuntungan tersebut
maka hal itu dihukumi riba.[5]
2.3
Hikmah
diharamkannya riba.
Apapun yang di syariatkan oleh allah swt.dalam syariatnya pasti
mengandung banyak hikmah baik yang sudah
di ketahui,dimana semua hikmah nya itu akan kembali kemanfaatannya kepada kita
baik di dunia maupun di akhirat kelak,dan diantara hikmah yang terkandung di
dalamnya adalah sebagai berikut:[6]
1.
Riba
adalah suatu perbuatan mengambil harta orang lain tanpa ganti,misalnya jika
seseorang meminjam uang sebanyak Rp.10 ribu lalu harus di kembalikan Rp 20 ribu
bukankah orang yang meminjamkanmya mendapatkan uang imbalan karena hutangnya
tersebut sebesar Rp 10 ribu,tanpa ganti dan imbalan apapun dari yang
meminjamkannya,padahal harta orang lain itu merupakan standard hidup dan
mempunyai kehormatan yang sangat besar setara dengan kehormatan darahnya.
Oleh karena itu mengambil harta orang lain tanpa ganti dan imbalan
apapun,sudah pasti hukumnya adalah haram.
2.
Jika
pemasukan seseorang bergantung pada transaksi riba,maka hal itu dapat
menghalanginya dari kesibukan bekerja.sebab kalau si pemilik uang yakin,bahwa
dengan melalui riba dia akan mendapatkan tambahan uang,baik kontan maupun
berjangka,maka dia akan menyepelehkan persoalan mencari penghidupan,sehingga bisa
jadi dia tidak mau menanggung beratnya usaha,dagang maupun usaha usaha
lainnya.hal semacam itu akan berakibat terputusnya sebab-sebab kebutuhan karena
tidak dapat di sangkal lagi,bahwa kemaslahatan dunia seratus persen di tentukan
oleh perdagangan,suatu pekerjaan,perusahaan dan pembangunan.
3.
Transaksi
riba akan menyebabkan hilangnya sifat ma’ruf(berbuat baik hati) antara sesama
manusia dalam bidang pinjam-meminjam.sebab kalau riba itu di halalkan,maka hal
itu akan memberatkan si peminjam misalnya menngembalikan uang Rp.200.000 dari jumlah Rp.100.000 yang
di pinjamnya,sehingga dia seakan akan senang
menikmati kenikmatan di atas kesengsaraan seseorang sehingga hilang
perasaanbelas kasih d[7]an
berbuat ma’ruf(kebaikan) kepada sesama.
4.
Pada
umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya,sedangkan yang meminjam adalah
orang yang tidak mampu.maka jika transaksi riba itu di perbolehkan,berarti
memberikan jalan kepada para orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang
lemah untuk menambah harta mereka dengan cara semena mena,dan hal itu sama
sekali tidak mencerminkan sifat dari seorang mukmin dimana di antara sifat kaum
mukmin adalah mereka saling mengasihi dan saling membantu di antara sesama
2.4 Dalil di haramkannya
transaksi riba.
Adapun dalil/dasar di haramkan
transaksi riba adalah dengan dasar nash Al-quran sebagai berikut:
Ø يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“wahai orang orang beriman bertaqwalah kalian
kepada allah dan tinggalkanlah segala macam transaksi riba(QS.Al-baqarah :278)
Ø يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah.dan allah tidak menyukai seti[8]ap
orang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa”(QS.Al-baqarah:276)
Ø الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا
كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ
مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“orang orang yang makan
(mengambil)riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan lantaran (tekanan)penyakit gila. Keadaaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
didalamnya” (QS.Al-Baqarah : 275)
2.5 Pandangan Ulama tentang Bungan
Bank
Kegiatan ekonomi islam, berpijak pada kemanusiaan,diwujudkan dalam
bentuk tolong menolong. Syirkah adalah formula utama kegiatan ekonomi
yang dikembangkan pada masa itu dengan sensi ta’awun. Dengan demikian,
kegiatan ekonomi modern dengan formula apa saja sepanjang tidak bertentangan
degan ta’awun dan kemanusiaan tentunya akan diterima oleh islam.
Dengan pendekatan sosioekonomi dapat diketahui bahwa riba nasi’ah
mempunyai karakter berikut.
1.
Riba
merupakan kegiatan ekonomi yang menyimpang dari asas kemanusian dan keadilan.
Dalam sejarah terbentuknya hukum islam, pelarangan riba termasuk dalam
subsistem tata ekonomi yang dikehendaki islam, yang berpijak pada keadilan dan
kemanusiaan.
2.
Fenomena
praktik riba membawa gambaran bahwa riba menghadapkan orang kaya dengan orang
miskin, kendatipun terdapat juga antarorang kaya, kasusnya sedikit.
Dari fenomena itu diketahui bahwa riba merupakan senjata efektif
untuk mengembangkan kemiskinan dan penindasan orang kaya terhadap kaum lemah.
Riba merupakan perjanjian berat sebelah, dan secara psikologis,
riba memaksa satu pihak menerima perjanjian yang sebenarnya tidak didasarkan
kerelaan.
AL-Qur’an berbicara tentang riba pada empat tempat. Masing-masing
kelompok ayat dikaitkan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya agar konteks
dan pesannya secara utuh dapat dimengerti dengan baik, dan akan dapat ditemukan
riba secara utuh yang sesuai dengan pesan AL-Qur’an dalam kaitannya dengan
praktik bunga pada industri perbankan . riba sebagai suatu bentuk kegiatan
ekonomi terlarang, disebut sebanyak delapan kali dalam AL-Qur’an di antaranya
dalam sura Ar-Rum, An-Nisa, Ali Imron, masing-masing satu kali dan lima kali
dalam surat Al-Baqarah, masing-masing dalam ayat 275, 276, dan 278.
Dalam Al-Qur’an menurut para mufasir proses pengharaman riba
disyariatkan secara bertahap. Tahap pertama, Allah SWT.menunjukkan bahwa
riba bersifat negatif. Pernyataan tersebut dsampaikan dalam surat Ar-Rum ayat
39:
ومااتيتم من ربا لير بوا في اموال الناس فلا
ير بواعنذالله.....(الروم:39)
Artinya : “dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan
Allah....”
Tahap kedua, Allah memberikan
isyarat pada keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba dikalangan
masyarakat yahudi. Hal ini dapat dilihat dalam surat An-Nisa ayat 161:
واخذ هم الر بوا وقد نهوا عنه واكلهم اموال
الناس بالبا طل واعتد نا للكفرين منهم عذا
با اليما (النساء:١٦١)
Artinya: “Dan karena mereka menjalankan
riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (bathil).
Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka adzab yang pedih.”
Tahap ketiga, Allah SWT.
Mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu bersifat berlipat ganda dengan
larangan yang tegas, hal ini disampaikan dalam surat Ali Imran 130:
يا يها الذين امنوا لاتاء كلوا الربوا اضعافا
مضعفة...(العمران:١٣)
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu memakan riba dengan berlibat ganda....”
Tahap terakhir, Allah mengharamkan
riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan Allah SWT.
Melalui firman-nya pada surat Al-Baqarah: 275, 276, dan 278. Dalam ayat 275
Allah SWT. Menjelaskan bahwa jual beli sangat berbeda dengan riba, dalam
ayat276 Allah menyatakan akan memusnakan riba, dan dalam ayat 277 Allah
memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman
riba secara total ini menurut para ulama fiqh terjadi pada akhir abad ke-8 atau
abad ke-9 H.
Dari uraian dimuka diketahui bahwa setiap
berbicara tentang riba, Al-Qur’an juga menyebutkan istilah zakat atau
padanannya, yang selalu diiringi dengan antitesisnya. Hal ini memberikan kesan
umumbahwa yang dilarang mempratikkan riba adalah orang yang berharta sebab
mereka juga diperintahkan untuk mengeluarkan zakat sebagai padanannya. Kedua
jenis transaksi ini, baik zakat maupun riba dilakukan oleh kedua belah pihak.
Pihak pertama yaitu pihak menerima zakat dan pembayar riba adalah orang miskin,
sedangkan pihak kedua,yaitu pihak pembayar zakat dan penerima riba adalah orang
kaya. Dalam konteks ini, orang kaya seharusnya mengeluarkan zakat sebagai
santunan terhadap orang miskin, tetapi
justru menindas dan memeras orang miskin dengan mempratikkan riba.
Praktik riba dengan formula “penambahan
atas pinjaman” yang pada umumnya memberikan pinjaman diperankan oleh orang kaya
dengan penerima orang miskin telah menimbulkan kesengsaraan, yang dalam istilah
arab dikenal dengan dzulm. Tampaknya, kezaliman yan menimpa orang miskin sangat
ditekankan dalam Al-Quran. Sekiranya penambahan itu tidak mendatangkan
kesengsaraan, tentu Al-Quran tidak akan membicarakannya,. Dengan demikian,
secara esensial, riba tidak terlepas dari zulm. Dalam kerangka seperti ini
menurut sebagian para ulama, ziyadah semata belum cukup untuk disebut riba.
Meskipun kesan itu begitu kuat, dalam
kenyataannya, praktik riba juga dilakukan antara orang-orang kaya. Apabila
pijaman itu dilakukan antar orang kaya, gambaran sulitnya pengambilan utang
seperti yang dialami orang miskin dan timbulnya zulm tidak terlihat, kendatipun
kemungkinan itu tetap ada.
Dengan demikian, riba dalam Al-Quran dapat
dilihat dengan karakter berikut.
1. Riba menjadikan pelakunya kesetanan
sehingga tidak dapat membedakan antara ang baik dan yang buruk.
2. Riba merupakan transaksi dengan tambahan
yang dijanjikan didepan dengan dampak zulm, ditambah dengan adanya “lipat
ganda”. Dalam surat Ali Imran, sifat lipat ganda ini yang ditekankan. Hal ini
mengindikasikan zulm itu relevan dengan lipat gand.
Berdasarkan Al-Quran yang selalu
menghadapkan riba dengan zakat dapat dilihat bahwa riba menjauhkan sifat
persaudaraan sebab zakat mempunyai sifat sebaliknya.
Golongan ulama tafsir seperti Al-Jashas dan
Ibnu Arabi berpendapat bahwa riba telah dikenal orang arab ketika Al-Quran
turun, bahkan mereka telah melaksanakannya. Ayat-ayat riba turun ntuk
menegaskan bahwa riba yang selama itu mereka praktikka tidak boleh dilakukan
lagi. Dengan demikian, Ibnu Arabi membedakan keberadaan istilah riba dengan
shalat dan zakat.
Terlepas dari pendekatan yang diambil,
kedua ulama ini spendapat bahwa riba yang dilarang dalam Al-Quran adalah riba
yang formulasinya seperti dipraktikkan oang-orang arab semasa jahiliyah. Dari
uraian para mfasir tentang riba, baik dituangkan dalam definis maupun dalam
gambaran praktis pada masa jahiliah, riba yang mereka maksud diidentifikasikan
sebagai berikut:
1. Terjadi karena ransaksi pinjam meminjam
2. Ada tambahan dari pinjaman ketika melunasi
dan tambahan tersebut dijanjikan terlebih dahulu. Tambahan diperhitungkan
sesuai dengan jangka waktu pinjaman.
Lebih spesifik, pemahaman tenang riba
dikemukakan oleh fakhr Ar-Raz, yaitu:
1. Riba memungkinkan seseorang memaksaakan
pemilik harta dari orang lain tanpa imbalan
2. Riba menghalangi pemilik modal untuk ikut
serta mencari rezeki
3. Riba merusak tatanan hidup tolong-menolong,
saling menghormati
4. Dengan riba, pemodal atau debitur akan
semakin kaya, sementara kreditur semakin miskin
5. Keharaman riba telah ditetaokan oleh nash
yang sudah pasti, kendatipun orang tidak mengetahui persis motif pelanggaranya.
2.5.1 Sekilas Tenang Bunga
Di kalangan
organisasi islam indonesia terdapat perbedaan tentang bunga bank. Majelis
Tarjih muhammadiyah misalnya, bahwa illat keharaman riba adalah kezaliman
(zulm) maka bunga bank bersifat mutasyabihat. Apabila banknya adalah bank
swasta, terhadap sesuatu yang mutsyabihat, syara’ memerintahkan untuk
menghindarinya. Adapun bunga bank yang terdapat pada bank-bank pemerintah
ukumya boleh dan tidak termasuk riba. Sedangkan dalam Nahdatul ulama menetapkan
bahwa bunga bank mempunyai tiga hukum, yaitu:
1. Haram, sebab termasuk tangyang diambil dari
bunga
2. Halal, seba tidak ada syarat pada waktu
akad, sedangkan adat yang berlaku tidak begitu saja dijadikan syarat
3. Syubhat, sebab para ahli hukum masih berbeda pendapat tentang hukumnya
2.5.2 Pengertian dan Macam Bunga
Bunga
merupakan pembayaran keatas modal Yang dipinjam dari pihak lain berupa
presentase, seperti 10%, 12%, atau 15%. Presentase dari modal dikenal dengan
tingkat bunga dalam setahun. Seandainya tingkat bunga 15% berrti tingkat bunga
dari modal yang dipinjamkan adalah 15% setahun.
Apabila
dihubungkan dengan salah satu lembaga keuangan seperti bank konveional, bunga
bank -diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank berdasarkan prinsip
konvesional kepada nasabah yang membeli atau menjual prodaknya atau harga yang
harus dibayar nasabah (yang memeliki simpanan) dengan yang harus dibayar
nasabah kepada bak (nasabah yang memperoleh pinjaman)
Pada
dasarnya, bunga pada pengertian ekonomi mikro atau makro sama karena bungan
merupakan nilai modal dari pihak peminjam kepada yang meminjam. Perbedaannnya
ada pada wadah pengoperasiannya. Pada ekonomi mikro, peminjam beroperasi secara
langsung antara satu pihak dan pihak lain. Sementara wadah ekonomi makro
seperti bank, peminjaman beroperasi secara tidak langsung dengan maemakai pihak
ketiga secara perantara (pengelola).
Suatu hal
yang perlu diperhatikan oleh pemilik modal selain tingkat bunga adalah tingkat
inflasi. Jika tingkat inflasi lebih tinggi dari tingkat bunga, pemilik modal
akan rugi. Logikanya disesuaikan dengan perhitungan bahwa modal ditambah bunga
nilai rilnya lebih rendah daripada nilai ril modal sebelum dibungakan. Kondisi
ini melatarbelakangi pengklasifikasian bunga pada tingkat bunga nominal dan
tingkat bunga ril. Contoh, jika tingkat bunga adalah 15% pertahun, tiba-tiba
pada waktu yang sama terjadi kenaikan harga sebesar 10%, tingkat bunga
nominalnya adalah 15% dan tingkat bunga ril adalah 15%-10% =5%.
Dalam
aktivitas perbankan sehari-hari ada dua komponen utama faktor biaya dan
pendapatan bagi bank, yaitu nasabah penyimpan uang dan nasabah peminjam uang
dengan demikian, dapat diklasifikasikan bahwa bunga bank dapat diklasifikasikan
menjadi bunga simpanan dan bunga pinjaman.
2.5.3
Perhitungan Sistem Bunga
Dengan
memperhatikan perhitungan tingkat bunga, terkesan bahwa dalam perekonomian
hanya terdapat satu tingkat bunga,. Ternyata tingkat bunga itu cukup bervariasi
antara satu orang dengan yang lain (sebagai penanam modal atau peminjam modal)
dan antara satu bank dan yang lain. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi besar kecilnya tingkat bunga, yaitu: perbedaan
resiko, jangka waktu peminjaman, biaya administrasi peminjaman, kebutuhan dana,
persaingan, kebijakan pemerintah, target laba yang diinginkan, kualitas
jaminan, reputasi perusahaan, produk yang kompetetif, hubungan baik, dan
jaminan pihak ketiga, (lihat: sadono sudikno dan kasmir).[9]
2.5.4 Bagi Hasil sebagai Solusi Masalah
Bunga Bank
Secara umum,
prinsip bagi hasil dalam perbankan islam dapat dilakukan dalam empat akad
utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzaraah, dan al-musyaqah.
Akan tetapi, prinsip yang paling banyak adalah prinsip musyarakah dan
mudharabah, sedangkan muzaraah
dan musyaqah dipergunakan khusus untuk planatation financing atau
pebiayaan pertanian dalam bank islam.
1. Al-Musyarakah
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu, yaitu masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana atau ekspertisi dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko
akan ditanggung secara bersama sesuai dengan kesepakatan.
Musyarakah
ada dua jenis, yaitu pemilihan dan akad. Pemilikan tercipta karena warisan,
asiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset atau
lebih,sedangkan akad tercipta dengan cara kesepakatan dua orang atau lebih
untuk memberikan modal secara berserikat dan sepakat untuk berbagi keuntungan
dan kerugian. Bentuk-bentuknya dapat berupa syirkah al-mudarabah.
Adapun
aplikasinya dalam dunia perbankan dapat berbentuk pembiayaan proyek, yaitu
nasabah bank sama-sama menyediakan dana untuk mendanai suatu proyek, atau
berbentuk modal ventura, yaitu penanam modal dilakukan oleh lembaga keuangan
untuk jangka waktu tertentu setelah bank melakukan investasi atau menjual
sahamnya.
2. Al-Mudharabah
Secara
teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,
dengan cara pihak pertama (shahibul amal) menyediakan dana seluruhnya
dan pihak kedua menjadi pengelola kesepakatan keuntungan dan kerugian
dihitungkan dalam kontrak. Meskipun demikian, selama tidak bersifat kelalaian
dari pengelola, kerugian itu sepenuhnya ditanggung oleh shahibul mal
Bentuk mudharabah dapat berupa mudharabah mutlaqah, yaitu
kerja sama antara shahibul maal dan pengusaha tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Bentuk lain mudharabah
muqayyabah, yaitu pengusaha dibatasi dengan jenis waktu, usaha, atau tempat
usaha. Dalam dunia perbankan, praktik mudharabah ini diterapkan dalam
bentuk tabungan berjangka, deposito spesial (special investment),
pembiyaan modal kerja, atau investasi khusus yang disebut dengan mudharabah
muqayyadah.
2.6 Perbankan Syariah
adalah suatu sistem bank yang berbasis aturan berdasarkan hukum
islam, yang dikenal sebagai syariat.Larangan riba yang secara harfiah
berarti “kelebihan” dan ditafsirkan sebagai “ peningkatan modal yang tidak bisa
dibenarkan dalam pinjaman” adalah ajaran pokok dari sistem keuangan syariah.
Hukum Islam mendorong penerimaan keuntungan tetapi melarang pengenaan bunga
karena keuntungan ditentukan setelah kegiatan (expost) dimana melambangkan
kesuksesan kewirausahaan dan penciptaan kekayaan, sedangkan bunga ditentukan
sebelum kegiatan (ex-ante) sebagai biaya yang diakui apapun hasil dari operasi
bisnis yang dilakukan dan mungkin saja tidak memberikan kekayaan. Keadilan
sosial menurut pemberi pinjaman dan peminjam berbagi keuntungan maupun kerugian
secara adil dan proses akumulasi serta distribusi kekayaan dalam perekonomian
dilakukan secara adil dan mewakili produktivitas yang sebenarnya.
2.6.1 Bentuk akad pada perbankan Syariah
Ø Akad Tijarah
Konsep akad ini adalah adanya
pertukaran, yakni pertukaran tersebut bisa dilakukan antara benda dan benda,
benda dan uang, atau sebaliknya. Pada intinya, akad ini merupakan akad niaga.
Oleh karena itu dalam akad ini para pihak boleh mengambil keuntungan dari
transaksi niaga yang ada.[10]
Ø Akad Tabarru’
Merupakan akad yang tidak mengandung
unsur pertukaran kepemilikan maupun pertukaran benda dengan benda atau uang
dengan benda. Berbeda dengan akad tijarah yang merupakan akad niaga, akad
tabarru’ ini memiliki sifat sosial (tolong menolong), dan tidak mengambil
keuntungan dari transaksi yang menggunakan akad ini.[11]
2.6.2 Sistem keuangan Bank Syariah
Ø Prinsip titipan atau simpanan pada bank syariah
Dalam fiqh islam prinsip titipan
atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadiah. Al-wadiah dapat diartikan
sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan
hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Dengan
konsep ini, pihak yang menertima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang
atau barang yang dititipkan, dan pihak penerima titipan dapat membebankan biaya
kepada penitip sebagai biaya penitipan.[12]
Ø Bagi hasil (Profit-sharing)
Dalam perbankan syariah prinsip bagi
hasil dapat dilakukan dalam empat akad yaitu al-musyarakah, al-mudharabah,
al-muzaraah, dan al-musaqah. Tetapi prinsip yang paling sering digunakan adalah
al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzaraah al- musaqah dipergunakan
khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank
islam.[13]
1.
al-musyarah
adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing masing pihak
memberikan konstribusi dana dan jasa dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan
2.
al-mudharabah
adalah kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shohibul maal)
menyediakan 100% modal sedangkan pihak lain menjadi pengelola.keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan. Dan kerugian ditangguang pemilik dana selama kerugian
bukan akibat kelalaian pengelola.[14]
Ø Jual beli (sale and purchase)
Terdapat tiga jenis jual beli yang
dikembangkan dalam perbankan syariah yaitu bai’ al-murabahah. Bai’ as-salam,
dan bai al-istishna.
1.
al-murabahah
adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati.
2.
bai
as-salam adalah pembelian barang yang dilakukan dikemudian hari , sedangkan
pembayaran dilakukan dimuka
3.
bai
al-istishna adalah kontrak antara penjualan antara penjual dan pembeli. Pembuat
barang menerima pesanan dari pembeli. Sistem pembayaran dan harga berdasarkan
kesepakatan: dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang.
Ø Prinsip sewa (operational lease and financial lease)
1.
Al-ijarah
adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah
atau sewa, tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
2.
Al-ijarah
al-muntahiya bit-tamlik adalah sejenis perpaduan kontrak jual beli dan sewa
atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangna
si penyewa.[15]
Ø Jasa (fee-based service)
1.
Al-wakalah
berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
2.
Al-kafalah
merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
3.
Al-hawalah
adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya.
4.
Ar-rahn
adalah menahan salah satu hak milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya. Dan barang yang ditahan memiliki nilai ekonomis.[16]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Riba
adalah kegiatan pembuangan uang dalam berbagai bentuk yang menurut pemahaman
ulama tafsir dan fiqih hukumnya haram dalam kaitannya dengan bunga bank yang
terdapat pada bank- bank konvensional. Riba itu haram dan hukum riba hanya
terdapat pada emas, perak dan makanan-makanan. Adapun yang dimaksud dengan
makanan-makanan, ialah segala makanan manusian yang dimaksudkan untuk kekuatan,
merasakan lezat/ nikmatnya atau berobat.
Bunga bank pada pengertian ekonomi mikro
atau makro sama karena bunga merupakan nilai modal dari pihak peminjam kepada
yang meminjam. Perbedaannnya ada pada wadah pengoperasiannya. Pada ekonomi
mikro, peminjam beroperasi secara langsung antara satu pihak dan pihak lain.
Sementara wadah ekonomi makro seperti bank, peminjaman beroperasi secara tidak
langsung dengan maemakai pihak ketiga secara perantara (pengelola).
Perbankan Syariah adalah suatu sistem bank yang berbasis aturan
berdasarkan hukum islam, yang dikenal sebagai syariat.Larangan riba yang
secara harfiah berarti “kelebihan” dan ditafsirkan sebagai “ peningkatan modal
yang tidak bisa dibenarkan dalam pinjaman” adalah ajaran pokok dari sistem
keuangan syariah. Hukum Islam mendorong penerimaan keuntungan tetapi melarang
pengenaan bunga karena keuntungan ditentukan setelah kegiatan (expost) dimana
melambangkan kesuksesan kewirausahaan dan penciptaan kekayaan, sedangkan bunga
ditentukan sebelum kegiatan (ex-ante) sebagai biaya yang diakui apapun hasil
dari operasi bisnis yang dilakukan dan mungkin saja tidak memberikan kekayaan.
Adapun bentuk akad dari perbankan syariah ini adalah Akad Tijarah dan akad
Tabarru’.
DAFTAR PUSTAKA
Baharun Segaf Hasan .Fiqih
Muamalat(Bangil:Yayasan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah,)
Khosyi’ah Siah, fiqih muamalah
perbandingan, (bandung:pustaka setia,2014),
Devita Purnamasari Irma, Suswinarno
Akad Syariah, (Jakarta: Mizan Media Utama, 2011)
Jayadi Abdullah Beberapa Aspek tentang Perbankan Syariah (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, april 2011)
[1] Ust.Segaf Hasan Bahrun. Fiqih Muamalat, 30.
[2] Ust.Segaf Hasan Bahrun. Fiqih Muamalat, 37.
[4] Ust.Segaf Hasan Bahrun. Fiqih Muamalat, 38.
[5] Ust.Segaf Hasan Bahrun.Fiqih Muamalat, 39.
[6]
Segaf Hasan Baharun.Fiqih Muamalat(Bangil:Yayasan Pondok Pesantren
Darullughah Wadda’wah,). Hal 31
[7]
Ibid,33
[8]
Ibid,34
[9]
siah Khosyi’ah, fiqih muamalah perbandingan, (bandung:pustaka
setia,2014),hlm173.
[10] Abdullah Jayadi
Beberapa Aspek tentang Perbankan Syariah hlm 22
[12] Irma
Devita Purnamasari, Suswinarno Akad Syariah hlm hlm 24
[13]
Ibid 1 hlm 81
[15]
Irma Devita Purnamasari, Suswinarno Akad Syariah hlm 104
[16]
Ibid 4 hlm 118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar