A. Pengertian dan Macam-macam sumber Hukum Tata Negara
Dalam bukunya
Konvensi Ketatanegaraan, Bagir Manan mengemukakan bahwa sumber hukum tata
Negara mencakup sumber hukum dalam arti materiil dan dalam arti formil. Sumber
hukum dalam arti materiil tata Negara adalah sumber yang menentukan isi kaidah
hukum tata Negara. Termasuk dalam sumber hukum dalam arti materiil ini
misalnya;
1.
Dasar
dan pandangan hidup bernegara;
2.
Kekuatan-kekuatan
politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata Negara.
Selanjutnya sumber hukum tata negara dalam arti formal menurut
Bagir Manan terdiri atas:
1.
Hukum
perundang-undangan ketatanegaraan;
2.
Hukum
adat ketatanegaraan;
3.
Hukum
kebiasaan ketatanegaraan;
4.
Yurisprudensi
ketatanegaraan;
5.
Hukum
perjanjian internasional ketatanegaraan;
6.
Doktrin
ketatanegaraan.[1]
Dari paparan diatas, maka makna sumber hukum sebagai segala sesuatu
yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat ditemukannya aturan hukum.
Sumber hukum itu dapat dilihat dari bentuknya. Dengan demikian macam-macam
sumber hukum itu ada dua, yakni sumber hukum secara materiil dan sumber secara
formal. Sumber hukum materiil meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi materi
(isi) dari aturan-aturan hukum, sedangkan sumber hukum formal adalah berbagai
bentuk aturan hukum yang sudah ada.
Sumber hukum formal adalah sumber hukum yang berasal dari
aturan-aturan hukum yang sudah mempunyai bentuk berlakunya hukum. Dengan
demikian sumber hukum hukum formal ini merupakan pemberian bentuk pernyataan
bahwa sumber hukum materiil dinyatakan berlaku. Dan ini berarati bahwa sumber
hukum materiil bisa berlaku jika sudah diberi bentuk atau dinyatakan berlaku
dengan adanya hukum formal.[2]
B. Sumber-sumber Hukum Tata Negara
1. Undang-undang
Dasar 1945 dan Peraturan perundang-undangan tertulis
Ketatanegaraan.
Pandangan hidup bangsa Indonesia terangkum dalam perumusan
sila-sila Pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai pandangan hidup bangsa dan falsafah
bernegara, Pancasila itu merupakan sumber hukum dalam arti materiil yang tidak
saja menjiwai, tetapi bahkan harus dilaksanakan dan tercermin dalam setiap
peraturan hukum Indonesia. oleh karena itu, hukum Indonesia haruslah
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan
faktor pemersatu bangsa, bersifat kerakyatan, dan menjamin keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila
merupakan alat penguji untuk setiap peraturan hukum yang berlaku, apakah
bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan
demikian, bahwa setiap peraturan hukum yang bertentangan dengan Pancasila tidak
boleh berlaku. Dalam bentuk formalnya Pancasila itu tercantum dalam perumusan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum tertulis yang tertinggi di Republik
Indonesia. Namun disamping itu, sumber hukum formal itu tidak hanya terbatas
kepada yang tertulis saja. Undang-Undang Negara republik Indonesia tahun 1945
hanyalah satu bentuk hukum yang tertulis dari norma dasar atau hukum dasar yang
bersifat tertinggi. Di samping hukum dasar tertulis dalam naskah Undang-Undang
Dasar 1945, ada pula hukum dasar atau konstitusi yang sifatnya tidak tertulis.[3]
Sumber hukum
formal Hukum Tata Negara Indonesia itu dapat dilihat pertama-tama pada
Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum,
selain merupakan hukum dasar tertulis
yang mengatur masalah ketatanegaraan, juga merupakan landasan hukum bagi
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan-peraturan lainnya. Misalnya,
pasal 19 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) diatur dengan undang-undang”. Penunjukan diatur dengan undang-undang dalam ayat ini menyebabkan
Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sumber hukum bagi pembentukan undang-undang
yang akan mengatur tentang susunan Dewan Perwakilan Rakyat itu. Dengan
demikian, dari ketentuan UUD 1945 itu mengalir peraturan-peraturan pelaksanaan
yang merupakan sumber hukum formil pula sesuai dengan tingkatan hierarkisnya
bagi peraturan peraturan di bawahnya masing-masing.[4]
Undang-undang
dasar merupakan sumber HTN tertulis yang utama. UUD sebagai sumber HTN dalam
arti Formil pada dasarnya mengatur 3 masalah pokok yaitu:
1)
Jaminan terhadap Ham dan hak-hak warganegara.
2)
Susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat mendasar.
3)
Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat mendasar.
Hal
yang bersifat umum itu perlu dijabarkan sehingga untuk menjabarkan perintah UUD
itu diperlukan UU. Contoh : di dalam UUD 1945 di atur tentang tugas dan
wewenang dari presiden yaitu pada pasal 4 sampai pasal 15 UUD 1945. UU no 12
tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. UUD 1945 hanya
menyebutkan DPR sebagai salah satu lembaga Negara, namun tata cara pengisian
DPR itu mealui Pemilu atau tidak ada didalam UUD diatur dalam UU tersendiri
yaitu UU pemilu. UU adalah Sumber HTN yang juga penting perannya. Bahkan tanpa
UU perintah UUD tidak dapat dijalankan. Di dalam UUD 1945 di atur tentang
hubungan lembaga-lembaga Negara, system pemerintahan, dan kekuasaan
pemerintahan yang selanjutnya diperjelas dalam peraturan perundang-undangan
dibawahnya yaitu UU, perpres, PP, dll. Jadi pada dasarnya semua yang ada di
dalam UUD dan peraturan perundang-undangan dibawahnya itu merupakan sumber HTN.
2. Hukum Adat Ketatanegaraan
Setiap bangsa pasti mempunyai suatu suatu adat atau kebiasaan
sendiri-sendiri satu dengan yang lain tidaklah sama. Ketidaksamaan ini
memperlihatkan bahwa adat dan atau kebiasaan merupakan unsur yang penting dalam
pergaulan hidup kemasyarakatan dan bernegara. Adat-sitiadat dan kebiasaan yang
sudah mentradisi iniliah yang menjadi sumber terbentuknya hukum adat
ketatanegaraan dan hukum kebiasaan. [5]
Hukum Indonesia yang bersumber dari adat istiadat inilah yang
kemudian disebut dengan hukum adat ketatanegaraan sedangkan yang bersumber dari
kebiasaan disebut hukum kebiasaan. Hal inilah yang menjadikan suatu hukum adat
ketatanegaraan menjadi sumber penting dari terbentukanya unsur materiil dalam
pembentukan hukum tata negara di Indonesia.
Dalam uraian di atas bisa diketahui bahwa bentuk atau wujud hukum
adat di Indonesia ini bisa di klasifikan menjadi dua golongan, yaitu sebagai berikut
:
Ø Hukum tidak tertulis atau kebiasaan, bahwa hukum adat sebagian
besar tidak tertulis.
Ø Hukum tertulis atau hukum adat ketatanegaraan, bahwa sebagian kecil
hukum adat tertulis hanya ada dalam buku-buku kuno (klasik) yang dikeluarkan
oleh para raja/sultan zaman kerajaan dahulu (kerajaan Kediri, Singosari,
Majapahit dan kerajaan Mataram Islam) yang kemudian saat ini bisa di ambil
untuk dijadikan suatu sumber materiil dari hukum tata negara di Indonesia.[6]
3. Konvensi Ketatanegaraan
Konvensi
ketatanegaraan atau constitutional convention merupakan peristilahan
yang lazim disebut dalam pembicaraan mengenai masalah-masalah praktik
ketatanegaraan dan dalam ilmu hukum tata (constitutional law).
Kadang-kadang, istilah konvensi atau konvensi ketatanegaraan itu dianggap
identic dengan kebiasaan atau kebiasaan ketatanegaraan, padahal sebenarnya
tidak. Dalam praktik, konvensi juga dianggap sebagai salah satu cara untuk mengubah apa yang
tertulis dalam kontek konstitusi, sesuai dengan kebutuhan yang baik untuk
memastikan bekerjanya norma konstitusi dalam praktik ketatanegaraan[7].
Konvensi
ketatanegaraan itu sendiri tidak lain adalah praktik-praktik ketatanegaraan
yang berisi salah satu dari ke empat norma, yaitu usage (cara), folkways (kebiasaan), more (pola
kelakuan), atau comes (adat istiadat), yang terangkum dalam istilah
kebiasaan ketatanegaraan. Konvensi-konvensi ketatanegaraan, tidak saja di
jumpai di negara-negara yang tidak mengenal dokumen konstitusi tertulis, tetapi
juga di kebanyakan negara dengan konstitusi tertulis.[8] Di
dalam negara Australia dan Amerika serikat dan sebagainya, konvensi-konvensi
ketatanegaraan itu diakui sebagai sumber hukum yang penting dalam praktik.
Misalnya, tata cara pemilihan presiden dan tata cara penentuan anggota kabinet
pemerintahan yang kemudian diatur menurut kebiasaan ketatanegaraan, bukan atas
dasar peraturan yang bersifat tertulis.[9]
Begitu
juga Indonesia, banyak sekali usages dan practices dalam
penyelenggaraan negara yang tidak didasarkan atas peraturan tertulis, melainkan
hanya didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang diwarisi dari masa lalu.
Misalnya adanya pidato ketatanegaraan Presiden pada setiap 16 Agustus di depan
rapat Paripurna DPR-RI dapat juga dikatakan konvensi ketatanegaraan. Konvensi
ketatanegaraanlah yang mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana konstitusi
dijalankan, tumbuh dan berkembang, karena fungsi utamanya adalah
mengadaptasikan struktur kepada fungsinya.[10]
Oleh karena itu, studi mengenai konvensi ketatanegaraan sangat penting untuk mengetahui
bekerjanya konstitusi yang tertulis dalam praktik ketatanegaraan.
Konvensi
ketatanegaraan merupakan aturan politik (rule of political behavior) yang
penting untuk kelancaran bekerjanya konstitusi. Konvensi memfasilitasi evolusi
dan perubahan dalam diri konstitusi itu sendiri, sementara bentuk hukumnya
tidak berubah. Dalam praktik, konvensi ketatanegaraan dikembangkan untuk
keperluan mengatur kewenagan diskresi yang bersifat terbuka. Beberapa contoh
konvensi di Indoensia adalah dalam pelaksanaan undang-undang dasar, banyak
perubahan yang terjadi terhadap norma yang terkandung didalamnya tanpa melalui
proses perubahan formal, melainkan hanya terjadi begitu saja melalui kebiasaan
atau konvensi ketatanegaraan[11].
Oleh
karena itu, konvensi ketatanegaraan mempunyai keduduakan yang sangat penting
dalam hukum tata negar, dan dianggap mempunyai kekuatan yang sama dengan
undang-undang, diterima dan dijalankan seperti halnya undang-undang. Bahkan
sering sekali konvensi ketatanegaraan itu menggeser berlakunya peraturan
perundang-undangan tertulis. Meskipun lazim dipahami bahwa hakim di pengadialan
tidak terikat untuk melaksanakan atau tidak melakukan konvensui ketatanegaraan
tersebut, tetapi diluar pengadilan konvensi ketatanegaraan biasanya ditaati
seperti halnya orang mentaati udang-undnag.[12]
4. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Tata Negara
Perjanjian
Internasional memaninkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan
dan pergaulan antar Negara dalam masyarakat internasioanal dewasa ini. Melalui
perjanjian internasioanal, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka,
mengatur berbagai kegiatan, menyelesaiakan berbagai masalah demi kelangsungan
hidup mesyarakat itu sendiri. [13]Dalam
Pasal 2 Wina 1969, perjanjian internasioanal (treaty) didefinisikan
sebagai: “Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis,
dan diatur dalam hukum internasional, apakah dalam instrument tunggal atau dua
lebih instrument yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya”. [14]
Dari paparan
diatas, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian internasional yang kemudian
menjadi sumber hukum tata Negara adalah perjanjian internasional yang diadakan
oleh Indonesia dengan Negara-negara lain, dimana Indonesia sebagai Negara
berdaulat telah mengikatkan diri untuk menerima hak-hak dan kewajiban yang
timbul dari perjanjian yang diadakannya itu. Untuk itu, tidak cukup perjanjian
atau traktat ditandatangani oleh Negara Indonesia, namun harus pula diratifikasi
(mendapat pengesahan) sebelum perjanjian tersebut mengikat.[15]
Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum Tata Negara
Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis
Indonesia sama artinya dengan kata “yurisprudentie” dalam bahasa Perancis yaitu
keputusan hakim terdahulu yang diikuti oleh hakim berikutnya dan dijadikan
sebagia dasar keputusannya mengenai kasus yang sama.[16] Yurisprudensi muncul sebagai konsekuensi logis dari adanya
kewenangan hakim untuk menciptakan hukum (Judge Made Law), terutama
terhadap kasus-kasus yang sama sekali belum ada hukumnya, tetapi telah musuk di
pengadilan. Dalam proses analisa dan penciptaan hukum atas kasus-kasus perkara
yang belum ada aturan hukumnya, hakim wajib mengali nilai-nilai hukum yang
hidup dan dipelihara baik di tengah masyarakatnya. Nilai-nilai hukum yang hidup
antara lain, nialai-nilai ajaran agama, adat istiadat yang masih terpelihara
baik, budaya dan tingkat kecerdasan masyarakat, keadaan sosial dan ekonomi
masyarakat, dan lain-lain.
Selanjutnya hasil penelitian BPHN tahun 1995 menyimpulkan bahwa
suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi, apabila putusan hakim
itu memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Putusan
atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
2.
Putusan
tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
3.
Telah
berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;
4.
Putusan
tersebut telah memenuhi rasa keadilan;
5.
Putusan
tersebutr dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Dalam konteks Yurisprudensi sebagai sumber hukum tata Negara maka
tidak perlu kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tentu
saja akan berperan besar dalam menerbitkan dan mematikan suatu kaidah hukum
ketatanegaraan terutama yang berkaitan dengan wewenang ketatanegaraan, hubungan
antar alat pelengkap Negara, dan pengisian jabatan ketatanegaraan.[17]
5.
Doktrin Ketatanegaraan
Doktrin
ialah Pendapat seorang ahli yang diikuti dan diakui kebenarannya oleh orang
banyak karena kepakaran siahli itu. Doktrin berbeda dengan sumber-sumber hokum
tata Negara yang lain sebab doktrin bukan norma hokum sedangkan sumber HTN yang
lain adalah norma hukum, namun doktrin juga mempunyai sifat yang mengikat
karena kepakaran orang yang berpendapat tersebut. Doktrin ini berasal dari
pendapat ahli yang dikenal luas, diakui, dan diterima di kalangan umum dan
bahkan ilmuwan yang membahas sesuatu yang tidak ada peraturan tertulis. Doktrin
lebih mengikat apa bila diikuti oleh Hakim/DPR. Contohnya adalah doktrin
tentang teori pemisahan kekuasaan montesque (eksekutif, legislatif dan
yudikatif).
Doktrin juga merupakan sumber hukum
dimana tempat hakim dapat menemukan hukumnya. Seringkali terjadi bahwa hakim
dalam keputusannya enyebut pendapat sarjana hukum, sebagai dasar pertimbangan
dalam memutuskan perkara tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakim
menemukan hukumnya dalam doktrin tersebut, doktrin yang demikian adalah sumber
hukum yaitu sumber hukum formil.[18]
DAFTAR PUSTAKA
Manan, Bagir, Konvensi
Ketatanegaraan, Yogyakarta: FH UII Press 2006.
Sirajuddin,
Winardi, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang: Setara Press,
2015.
Mauna, Boer, Hukum
Internasional: pengertian, peranan, dan fungsi dalam Era dinamika global,
Alumni Bandung, 2000.
Huda, Ni’matul,
Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2005.
Soeroso,R. , Pengantar
ilmu hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,
Jakarta:Rajawali Pers,2015.
Munro, W.B. , The Goverment of the United
States,4 edition, 1936
Sugiarto, Umar Said, Pengantar Hukum
Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2017.
Sudikno Mertokusumo, Prof. Dr. SH., Mengenal Huku, Liberty Yogyakarta
1986
[1] Bagir Manan,
2006, Konvensi Ketatanegaraan, Yogyakarta: FH UII Press. Hlm 27-40
[2] Sirajuddin,
Winardi, 2015, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang: Setara
Press. Hlm 12
[4] Ibid., hlm 160.
[5]
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika,
2017) hlm112
[6] Ibid.,
Hlm 118
[8] Ibid., hlm. 193.
[9] W.B. Munro, The Goverment of the United
States,4 edition, 1936, hlm. 80-83.
[10] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara, (Jakarta:Rajawali Pers,2015)hlm. 195.
[11] Ibid., hlm. 204.
[12] Ibid., hlm. 206
[13] Sirajuddin,
Winardi, 2015, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang: Setara
Press. hlm 19.
[14] Boer Mauna,
2000, Hukum Internasional: pengertian, peranan, dan fungsi dalam Era
dinamika global, Bandung: Alumni. Hlm 84
[15] Ni,matul Huda,
2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hlm 36
[17] Sirajuddin,
Winardi, 2015, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang: Setara
Press. Hlm 21-22
[18]Prof. Dr.
Sudikno M. SH., Mengenal Huku, Yogyakarta: Liberty. Hlm 94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar