BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara hukum, oleh karena itu maka sebagai negara hukum sudah
semestinya hukum dijadikan sebagai sarana untuk mengatur masyarakat,
sehingga hukum Indonesia harus ditegakkan dengan sebaik mungkin. Hukum
Indonesia adalah sarana utama untuk melindungi dan memberikan jaminan rasa aman
pada penduduk warga negara Indonesia itu sendiri, dimana setiap warga negara
Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dihadapan hukum (Equality Before
The Law). Oleh sebab itu menurut FJ. Stahl dalam buku Hukum Adminitrasi Negara
Ridwan HR bahwa suatu negara hukum memiliki unsur penting dengan adanya
Peradilan Administrasi dalam perselisihan atau Peradilan Tata Usaha negara.
Dalam hal ini
dimana Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia
yang berwenang menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 51
Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara
diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan atau
sengketa antar badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat.
Dalam hukum
acara terdapat upaya-upaya hukum yang meliputi upaya hukum biasa dan upaya
hukum luar biasa atau upaya hukum istimewa. Upaya hukum biasa
pada azasnya terbuka untuk setiap putusan lama tenggang waktu yang ditentukan
oleh undang-undnag. Wewenang untuk menggunakannya hapus dengan menerima
putusan. Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk
sementara. Upaya hukum biasa ialah: perlawanan, banding, dan kasasi.
Dengan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau mutlak suatu putusan tidak lagi di
ubah. Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila tidak tersedia
lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap ini tersedia upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa
hanya lah di perbolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam
undang-undang saja. Termasuk upaya hukum istimewa ialah request civil
(peninjauan kembali) dan derden verszet (perlawanan pihak ketiga).
1.2
Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimaksud dengan Upaya Hukum dalam
PTUN?
2)
Ada apa saja Upaya Hukum di dalam PTUN?
3)
Bagaimana proses dalam melakukan seuatu upaya
hukum?
1.3
Tujuan Penulisan
1)
Untuk mengetahui apa itu suatu Upaya Hukum
dalam PTUN.
2)
Untuk mengetahui apa saja Uapaya Hukum yang ada
dalam PTUN.
3)
Untuk mengetahui proses atau prosedur melakukan
Uapaya Hukum dalam PTUN.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Upaya
Hukum
Ada beberapa upaya
hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa TUN, baik
terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maupun
terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya hukum
yang dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah perlwanan, banding dan kasasi yang dikenal dengan sebutan Upaya
Hukum biasa. Sedangkan upaya hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah peninjaun kembali (request civil) dan perlawanan pihak ke tiga (dendarverzet)
yang dikenal dengan sebutan Upaya Hukum Istimewa atau Upaya Hukum
Luar biasa.[1]
Upaya hukum
bukanlah dimaksudkan untuk memperlama penyelesaian perkara, apalagi dimaksudkan
untuk mengenyampingkan kepastian hukum. Bagaimanapun upaya hukum diperlukan
karena hakim adalah manusia yang sangat dekat dengan kekhilafan, bahkan
kesalahan itu sendiri bersifat memihak atau karena ditemukan bukti yang begitu
kuat. Dengan tersedianya upaya hukum, putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim
masih dimungkinkan untuk dipriksa ulang.[2]
Menurut R. Wiyono,
istilah upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa tidak dipergunakan dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009. Kedua istilah tersebut dipinjam dari
istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana.[3]
2.2 Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum
biasa merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan sebelum memperoleh kekuatan hukum
tetap, diantarany adalah:
a)
Perlawanan
Perlawanan
(verzet) merupakan upaya hukum terhadap penetapan yang diputuskan oleh
ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan (prosedur dismissal).
Perlawanan yang diajukan oleh penggugat terhadap penetapan dismissal tersebut pada
dasarnya membantah alasan-alasan yang digunakan oleh Ketua Pengadilan
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a, b, c, d, dan e UU
PTUN. Penggugat harus mampu membuktikan bahwa alasan-alasan yang digunakan oleh
Ketua Pengadilan itu berdasar dan didukung oleh bukti-bukti yang akurat,
sehingga kebenarannya patut dipertanyakan[4].
Tengang
waktu mengajukan gugatan menurut Pasal 62 ayat (3) UU PTUN adalah 14 (empat
belas) hari sejak penetapan tersebut dikeluarkan oleh ketua pengadilan
sebagaimana disebutkan diatas[5]. Menurut
Zairin Harahap Pasal diatas tidak disebutkan dengan jelas apakah tenggang waktu
mengajukan perlawanan itu bersifat right, sehingga apabila terlampaui, hak
penggugat untuk mengajukan perlawanan menjadi gugur. Tidak seperti halnya
pengaturan pemeriksaan persiapan, dalam penjelasan Pasal 63 UU PTUN disebutkan
bahwa hakim diminta untuk bijaksana agar tidak langsung begitu saja menyatakan
bahwa gugatan tidak dapat diterima, karena tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari untuk menyempurnakan gugatan itu dilampaui oleh peggugat, tetapi
memberikan kesempatan sekali lagi untuk menyempurnakan gugatannya.[6] Indroharto
berpendapat bahwa lewatnya tenggang waktu mengajukan perlawanan maka posisi
putusan berlawanan itu dapat dianggap sebagai sewaktu insiden dalam proses,
karena terhadap putusan Majelis mengenai perlawanan yang dilakukan dengan cara
singkat tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum banding atau kasasi (pasal
62 ayat 6) menjadilah penetapan dismissalketua
pengadilan tersebut berkekuatan seperti putusan akhir mengenai pokok
sengketanya[7].
Perlawanan
diperiksa dan diputus oleh pengadilan denga acara singkat. Dalam hal perlawanan
dibenarkan oleh pengadilan, maka penetapan ketua pengadilan tersebut diatas
gugur demi hukum (ex lege) dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus,
dan diselesaikan menurut acara biasa. Sebaliknya apabila perlawanan ditolak,
maka penetapan hakim yang diputus dalam rapat permusyawaratan itu menjadi tetap
berlaku. Dengan demikian gugatan tetap dinyatakan tidak dapat diterima atau
tidak terdasar. Putusan yang tetapkan atas dasar perlawanan terhadap penetapan
rapat pemusyawartan ini menurut Pasal 62 ayat (6) UU PTUN tidak dapat digunakan
upaya hukum baik yang berupa banding maupun kasasi. Wicipto Setiadi mengatakan
bahwa dalam hal penggugat tidak dapat menerima putusan tersebut, satu-satunya
kemungkinan adalah mengajukan gugatan baru. Berdasarkan angka V butir 2 SEMA
No. Tahun 1991, perihal pengajuan gugatan itu dimungkinkan sepanjang tenggang
ewaktu mengajukan gugatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN masih
tersisa[8].
b)
Banding
Banding
sering juga disebut istilah ulangan pemeriksaan yang berasala dari bahsa latin apellare. Arti banding, yaitu
pemerimsaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh sebuah pengadilan atasan yang
mengulangi seluruh pemeriksaan, baik mengenai fakta-fakta, maupun penerapan
hukum atau undang-undang. Banding merupakan suatu pemeriksaan ulang yang
dilakukan oleh Pengadilan Tinggi terhadap putusan Pengadilan Negeri atas
permohonan pihak yang berkepentingan. Pemeriksaan di tingkat banding merupakan
pemeriksaan oleh judex facti tingkat terakhir[9].
Dalam
pasal 122 UU PTUN disebutkan bahwa terhadap putusan PTUN dapat dimintakan
pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara. Dengan demikian jelaslah bahwa hak untuk mengajukan banding
terhadap putusan PTUN tidak hanya ada pada salah satu pihak, tetapi ada pada
kedua belah pihak. Pasal ini memberikan keadilan yang sama kepada para pihak
yang berperkara. Sedangkan tenggang waktu mengajukan upaya hukum banding 14
hari setelah putusan pengadilan diberikan secara sah[10]. Menurut pasal
123 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, tenggang waktu permohonan
pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang
khusus dikuasakan untuk itu kepada pengadilan tata usaha Negara yang
menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas hari setelah
putusan pengadilan itu diberikan kepadanya secara sah.[11]
Dalam
hal prosedur pelaksanaan permohonan banding terdapat dalam Pasal 123-126
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, sebagai berikut[12]:
1.
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara
tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara yang mejatuhkan putusan tersebut dalam tenggang
waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan itu diberikan kepadanya
secara sah;
2.
Permohonan pemeriksaan banding disertai
pembayaran uang muka biaya perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir
oleh Panitera;
3.
Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh
Panitera dalam daftar perkara;
4.
Panitera memberitahukan hal tersebut kepada
pihak terbanding;
5.
Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah
permohonan pemeriksaan banding dicatat, panitera memberitahukan kepada kedua
belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata
Usaha Negara dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima
pemberitahuan;
6.
Salinan putusan, berita acara, dan surat-surat
lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sesudah pernyataan
permohonan pemeriksaan banding;
7.
Para pihak dapat menyerahkan memori banding
dan/atau kontra memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori
dan/atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya denga perantaraan
Panitera Pengadilan.
Sebelum
permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pihak pemohon
sendiri. Akan tetapi, jika dicabut, permohonan banding tidak dapat diajukan
lagi meskipun jangka waktu mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum
lampau.[13] Setelah
Pengadilan Tata Usaha Negara menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan
permohonan pemeriksaan di tingkat banding, maka dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari setalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menjatuhkan putusan, Panitera
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara mengirimkan salinan putusan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara beserta berkas perkaranya kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama[14].
c)
Kasasi
Perkataan
“kasasi” (dalam bahasa Perancis cassation)
berasal dari perkataan Perancis casser yang berarti “memecahkan” atau
“membatalkan”. Tugas pengadilan kasasi adalah menguji (meneliti) putusan
pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum
yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah
ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut[15]. Menurut
soepomo, dalam buku Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata
mengatakan, bahwa kasasi adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakkan dan
membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada
tingkatan tertinggi[16].
Maka
dapat disimpulkan, bahwa kasasi itu merupakan suatu upaya hukum biasa yang ada
pada tingkat kedua, yang diajukan oleh pihak yang tidak merasa puas atas
penetapan dan putusan dibawah Mahkamah Agung, baik mengenai kewenangan
pengadilan kesalahan penerapan hukum kesalahan atau kelalain dalam cara-cara
mengadili menurut syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Pemeriksaan di Tingkat Kasasi sebagai upaya hukum biasa
diatur dalam Pasal 131 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Semua
permohonan kasasi dalam lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung
mengajukan permohonan kasasinya kepada Mahkamah Agung, hal ini sesuai dengan
amanah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang terbaru UU No. 48 Tahun 2009.
Mahkamah Agung bukan merupakan pengadilan tingkat ketiga, sehingga pemeriksaan tidak
dapat dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ketiga. Mahkamah Agung (judex
uiris) hanya melakukan penilaian yang menyangkut masalah penerapan
hukumnya, tidak mengulang pemeriksaan mengenai fakta-fakta perkara. Mahkamah
Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Oleh karena
itu, Mahkamah Agung memiliki kewenangan.[17]
1.
Permohonan kasasi diajukan oleh para pihak yang
bersengketa atau (para) kuasanya secara tertulis atau lisan dalam tenggang
waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang
dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon;
2.
Permohonan tersebut diajukan melalui Panitera
Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama) yang memutuskan perkara itu;
3.
Jika tenggang waktu 14 (empat belas) hari
tersebut terlampaui tanpa ada pengajuan permohonan kasasi oleh pihak yang
bersengketa, maka pihak yang bersengketa dianggap telah menerima putusan;
4.
Pemohon membayar biaya pemeriksaan kasasi
tersebut;
5.
Setelah pemohon membayar biaya perkara Panitera
berkewajiban melakukan;
Ø
Mencatat
permohonan kasasi dalam buku daftar;
Ø
Pada
hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas
perkara;
Ø
Selambat-lambatnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari setalah permohonan kasasi terdaftar, Panitera
memberikan secara tertulis mengenai permohonan;
Ø
Permohonan
selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah
permohonan tersebut dicatat dalam buku daftar, wajib menyampaikan memori kasasi
yang memuat alasan-alasannya;
Ø
Panitera
memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan
memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam sengketa yang dimaksud dalam
tenggang waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari;
Ø
Pihak
lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi (kontra memori
kasasi) kepada Panitera dalm tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
diterimanya salinan memori kasasi;
Ø
Panitera
mengirimkan seluruh berkas perkara (permohonan kasasi, memori kasasi, kontra
memori kasasi, berkas yang lain) kepada Mahkamah Agung dalm tenggang waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari;
Ø
Panitera
Mahkamah Agung bertindak:
·
Mencatat permohonan kasasi dalm buku daftar
dengan membubuhkan nomor unit menurut tanggal penerimaannya
·
Membuat catatan singkat tentang isinya;
·
Melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung.
Setelah
prosedur pengajuan permohanan kasasi selesai maka akan diperiksa oleh Mahkamah
Agung, kemudian akan memberikan putusan kepada kedua belah pihak
selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan dan berkas perkara diterima
Pengadilan Tinggi. Jika putusan dilakukan atas dasar alasan tersebut, maka
Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu. Salinan
putusan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama)
yang memutus perkara tersebut.
2.3 Upaya Hukum
Luar Biasa
Upaya hukum
luar biasa merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan setelah memperoleh
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), diantaranya adalah:
a)
Peninjauan Kembali
Terhadap
suatu putusan Mahkamah Agung yang sudah memperoleh keuatan hukum tetap, maka
upaya hukum selanjutnya yang bisa dilakukan dengan peninjauan kembali terhadap
putusan Mahkamah Agung tersebut, sebagaimana terdapat dapat Pasal 132
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 menyatakan sebagai berikut[19]:
1)
Terhadap putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung.
2)
Acara pemeriksaan peninjauan kembali
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.
Dalam Pasal 77
ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 mengatakan:
“Dalam
pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh pengadilan di
lingkungan peradilan agama, atau oleh pengadilan di lingkungan peradilan tata
usaha Negara, digunakan hukum acara peninjauan kembali yang tercantum dalam Pasal
67 sampai dengan Pasal 75.”
Alasan
pengajuan pemohonan peninjauan kembali sebagaimana tersirat dalam Pasal 67
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagai berikut[20]:
1)
Apabila putusan didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya
diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu;
2)
Apabila setelah perkara di putus, ditemukan
surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak dapat ditemukan;
3)
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak
dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
4)
Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan
belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5)
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenal
suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama tingkatnya
telah diberikan putusan yang bertentangan suatu dengan yang lain;
6)
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu
kekhilafan hakim atau suatu keliru yang nyata.
Permohonan
peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh pihak yang berperkara atau ahli
warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila
selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, maka permohonan
tersebut akan dilanjutkan oleh ahli warisnya. Maka dari itu mengenai tenggang
waktu mengajukan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari, hanya cara
mulai melakukan perhitungannya berbeda-beda sesuai denga alasan mana yang
digunakan pemohon sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 67 UUMA.
Pasal
73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Mahkamah Agung berwenang
memerintahkan Pengadilan yang memeriksa dalam Tingkat Pertama atau Pengadilan
Tingkat Banding mengadakan pemeriksaan tambahan atau meminta segala keterangan
serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud. Pengadilan setelah
melaksanakan perintah mahkamah agung tersebut segera mengrimkan berita acara
pemeriksaan tambahan serta pertimbangannya kepada mahkamah agung[21].
Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali, Mahkamah
Agung membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan
selanjutnya memeriksa serta memutuskan sendiri perkaranya. Mahkamah Agung
menolak permohonan peninjauan kembali dalam hal Mahkamah Agung berpendapat
bahwa permohonan itu tidak beralasan.[22]
Setelah
Mahkamah Agung menjatuhkan putusan, maka salinan putusan Mahkamah Agung
tersebut dikirimkan kepada pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dan
selanjutnya Panitera menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon serta
memberitahukan putusan itu kepada pihak lawan dari pemohon dengan memberikan
salinannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.[23]
b)
Perlawanan
pihak ke tiga (derdenverzet)
Istilah Verzet dalam Hukum
Acara Perdata merupakan suatu uapaya hukum terhadap putusan verstek (putusan
yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat). Untuk menjatuhkan putusan verstek
hakim harus memperhatikan ketentuan pasal 125 HIR terlebih dahulu. Sedangkan yang
dimaksud verzet adalah perlawanan (dari) pihak ketiga. Memang pada asasnya
putusan pengadilan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat
pihak ketiga. Namun tidak tertutup keungkinan ada pihak ketiga yang dirugikan
oleh suatu putusan pengadilan. Oleh karena itu pihak yang dirugikan dapat
mengajukan perlwanan ke Hakim Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.
Yahya Harahap menjelaskan, dalam
praktiknya, tergugat sering mengajukan keberatan atas pennyitaan yang
diletakkan terhadap harta kekayaannya dan tidak dihiraukan pengadilan atas
alasan, sekiranya barang itu benar milik pihak ketiga, dia dapat mengajukan
keberatan melalui upaya derdenverzet. Ternyata meskipun sita telah
diletakkan di atasnya, tidak ada muncul perlawanan dari pihak ketiga, oleh
karena itu cukup alasan untuk menduga, harta tersebut milik tergugat bukan
milik pihak ketiga.[24]
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Untuk
memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan, maka perlu alat atau sarana hukum
untuk dapat memperbaiki putusan tersebut, yaitu yang dinamakan upaya hukum.
Jadi, upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya
kekeliruan pada putusan pengadilan. Upaya hukum ini dapat ditempuh terhadap
putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut pendapat
penulis bahwa upaya hukum merupakan suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa
dirugikan haknya untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum.
Dengan demikian
untuk memperbaiki kekliruan tersebut, maka dari itu ada beberapa upaya hukum
yang dilakukan dalam peradilan tata usaha Negara sebagai berikut, Upaya hukum
biasa yang terdiri dari Perlawanan terhadap penetapan dismissal, Banding
dan Kasasi serta Upaya hukum luar biasa yang terdiri dari Peninjauan kembali
dan Perlawanan pihak ke tiga (derdenverzet).
Daftar
Pustaka
Khairo, Hj.
Fatria STP., S.H., M.H, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2016, Jakarta: Cintya Press.
Wiyono, R, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, 2013, Jakarta
Timur: Sinar Grafika.
Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, 2007, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Indroharto, Usaha
Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, 1996 Pustaka
Sinar Harapan, Cetakan Keenam.
Setiadi, Wicipto, Hukum Acara Pengadilan
Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, 1994
Jakarta: Raja Grafindo.
Soetami, A. Siti, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, 2011, Bandung: PT. Refika Aditama, Cetakan Ketujuh.
Makarao, Moh. Taufik, Pokok-pokok
Hukum Acara Perdata, 2004, Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, dalam Teori dan Praktek, 2009, Bandung: CV.
Mandar Maju, Cetakan Kesebelas.
Sari, Elidar dan Hadi Iskandar, Pengantar Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara, 2014, lhokseumawe:
CV Biena Edukasi.
Harahap, M.
Yahya, Hukum Acara Perdata, 2013, Cetakan ke 13: Sinar Grafika.
Undang-Undang No 5 tahun 1986.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[1]
Hj. Fatria
Khairo, STP., S.H., M.H, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
(Jakarta: Cintya Press, 2016) Hlm 129
[3]
R.Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, (Jakarta Timur: Sinar Grafika 2013, hlm. 202.
[4]
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2007), Hlm 166
[6]
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2007), Hlm 166-167
[7]
Indroharto, Usaha
Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar
Harapan, Cetakan Keenam, 1996, hlm. 153.
[8]
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata
Usaha Negara Suatu Perbandingan, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994) Hlm 116
[9]
A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, (Bandung: PT. Refika Aditama, Cetakan Ketujuh, 2011) Hlm. 59
[10]
Hj. Fatria Khairo, STP., S.H., M.H, Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara, (Jakarta: Cintya Press, 2016) Hlm 132
[13]
Lihat Pasal 129 Undang-Undang No 5 tahun 1986.
[15]
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok
Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004). Hlm 189
[16]
Retnowulan
Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum
Acara Perdata, dalam Teori dan Praktek, (Bandung: CV. Mandar Maju, Cetakan
Kesebelas, 2009) Hlm. 163.
[17]
Elidar Sari dan Hadi Iskandar, Pengantar Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara, (lhokseumawe: CV Biena Edukasi, 2014) Hlm 121-122.
[21]
Lihat
Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[24]
M. Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata (Cetakan
ke 13: Sinar Grafika, 2013) Hlm 299
Tidak ada komentar:
Posting Komentar