Jumat, 06 April 2018

Upaya Hukum dalam PTUN


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum, oleh karena itu maka sebagai negara  hukum sudah semestinya hukum dijadikan sebagai sarana untuk  mengatur masyarakat, sehingga hukum Indonesia harus ditegakkan dengan sebaik mungkin. Hukum Indonesia adalah sarana utama untuk melindungi dan memberikan jaminan rasa aman pada penduduk warga negara Indonesia itu sendiri, dimana setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dihadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh sebab itu menurut FJ. Stahl dalam buku Hukum Adminitrasi Negara Ridwan HR bahwa suatu negara hukum memiliki unsur penting dengan adanya Peradilan Administrasi dalam perselisihan atau Peradilan Tata Usaha negara.
Dalam hal ini dimana Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan atau sengketa antar badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat.
Dalam hukum acara terdapat upaya-upaya hukum yang meliputi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa atau upaya hukum istimewa. Upaya hukum biasa pada azasnya terbuka untuk setiap putusan lama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undnag. Wewenang untuk menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa ialah: perlawanan, banding, dan kasasi.
Dengan mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau mutlak suatu putusan tidak lagi di ubah. Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ini tersedia upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa hanya lah di perbolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam undang-undang saja. Termasuk upaya hukum istimewa ialah request civil (peninjauan kembali) dan derden verszet (perlawanan pihak ketiga).
1.2  Rumusan Masalah
1)      Apa yang dimaksud dengan Upaya Hukum dalam PTUN?
2)      Ada apa saja Upaya Hukum di dalam PTUN?
3)      Bagaimana proses dalam melakukan seuatu upaya hukum?

1.3  Tujuan Penulisan
1)      Untuk mengetahui apa itu suatu Upaya Hukum dalam PTUN.
2)      Untuk mengetahui apa saja Uapaya Hukum yang ada dalam PTUN.
3)      Untuk mengetahui proses atau prosedur melakukan Uapaya Hukum dalam PTUN.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Upaya Hukum
            Ada beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa TUN, baik terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maupun terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah perlwanan, banding dan kasasi yang dikenal dengan sebutan Upaya Hukum biasa. Sedangkan upaya hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah peninjaun kembali (request civil) dan perlawanan pihak ke tiga (dendarverzet) yang dikenal dengan sebutan Upaya Hukum Istimewa atau Upaya Hukum Luar biasa.[1]
            Upaya hukum bukanlah dimaksudkan untuk memperlama penyelesaian perkara, apalagi dimaksudkan untuk mengenyampingkan kepastian hukum. Bagaimanapun upaya hukum diperlukan karena hakim adalah manusia yang sangat dekat dengan kekhilafan, bahkan kesalahan itu sendiri bersifat memihak atau karena ditemukan bukti yang begitu kuat. Dengan tersedianya upaya hukum, putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim masih dimungkinkan untuk dipriksa ulang.[2]
            Menurut R. Wiyono, istilah upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa tidak dipergunakan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009. Kedua  istilah tersebut dipinjam dari istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.[3]
2.2 Upaya Hukum Biasa
            Upaya hukum biasa merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan sebelum memperoleh kekuatan hukum tetap, diantarany adalah:
a)      Perlawanan
Perlawanan (verzet) merupakan upaya hukum terhadap penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan (prosedur dismissal). Perlawanan yang diajukan oleh penggugat terhadap penetapan dismissal tersebut pada dasarnya membantah alasan-alasan yang digunakan oleh Ketua Pengadilan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a, b, c, d, dan e UU PTUN. Penggugat harus mampu membuktikan bahwa alasan-alasan yang digunakan oleh Ketua Pengadilan itu berdasar dan didukung oleh bukti-bukti yang akurat, sehingga kebenarannya patut dipertanyakan[4].
Tengang waktu mengajukan gugatan menurut Pasal 62 ayat (3) UU PTUN adalah 14 (empat belas) hari sejak penetapan tersebut dikeluarkan oleh ketua pengadilan sebagaimana disebutkan diatas[5]. Menurut Zairin Harahap Pasal diatas tidak disebutkan dengan jelas apakah tenggang waktu mengajukan perlawanan itu bersifat right, sehingga apabila terlampaui, hak penggugat untuk mengajukan perlawanan menjadi gugur. Tidak seperti halnya pengaturan pemeriksaan persiapan, dalam penjelasan Pasal 63 UU PTUN disebutkan bahwa hakim diminta untuk bijaksana agar tidak langsung begitu saja menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima,  karena tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari untuk menyempurnakan gugatan itu dilampaui oleh peggugat, tetapi memberikan kesempatan sekali lagi untuk menyempurnakan gugatannya.[6] Indroharto berpendapat bahwa lewatnya tenggang waktu mengajukan perlawanan maka posisi putusan berlawanan itu dapat dianggap sebagai sewaktu insiden dalam proses, karena terhadap putusan Majelis mengenai perlawanan yang dilakukan dengan cara singkat tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum banding atau kasasi (pasal 62 ayat 6) menjadilah penetapan dismissalketua pengadilan tersebut berkekuatan seperti putusan akhir mengenai pokok sengketanya[7].
Perlawanan diperiksa dan diputus oleh pengadilan denga acara singkat. Dalam hal perlawanan dibenarkan oleh pengadilan, maka penetapan ketua pengadilan tersebut diatas gugur demi hukum (ex lege) dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara biasa. Sebaliknya apabila perlawanan ditolak, maka penetapan hakim yang diputus dalam rapat permusyawaratan itu menjadi tetap berlaku. Dengan demikian gugatan tetap dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak terdasar. Putusan yang tetapkan atas dasar perlawanan terhadap penetapan rapat pemusyawartan ini menurut Pasal 62 ayat (6) UU PTUN tidak dapat digunakan upaya hukum baik yang berupa banding maupun kasasi. Wicipto Setiadi mengatakan bahwa dalam hal penggugat tidak dapat menerima putusan tersebut, satu-satunya kemungkinan adalah mengajukan gugatan baru. Berdasarkan angka V butir 2 SEMA No. Tahun 1991, perihal pengajuan gugatan itu dimungkinkan sepanjang tenggang ewaktu mengajukan gugatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN masih tersisa[8].

b)      Banding
Banding sering juga disebut istilah ulangan pemeriksaan yang berasala dari bahsa latin apellare. Arti banding, yaitu pemerimsaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh sebuah pengadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik mengenai fakta-fakta, maupun penerapan hukum atau undang-undang. Banding merupakan suatu pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi terhadap putusan Pengadilan Negeri atas permohonan pihak yang berkepentingan. Pemeriksaan di tingkat banding merupakan pemeriksaan oleh judex facti tingkat terakhir[9].
Dalam pasal 122 UU PTUN disebutkan bahwa terhadap putusan PTUN dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Dengan demikian jelaslah bahwa hak untuk mengajukan banding terhadap putusan PTUN tidak hanya ada pada salah satu pihak, tetapi ada pada kedua belah pihak. Pasal ini memberikan keadilan yang sama kepada para pihak yang berperkara. Sedangkan tenggang waktu mengajukan upaya hukum banding 14 hari setelah putusan pengadilan diberikan secara sah[10]. Menurut pasal 123 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, tenggang waktu permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada pengadilan tata usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan pengadilan itu diberikan kepadanya secara sah.[11]
Dalam hal prosedur pelaksanaan permohonan banding terdapat dalam Pasal 123-126 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, sebagai berikut[12]:
1.      Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang mejatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan itu diberikan kepadanya secara sah;
2.      Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera;
3.      Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam daftar perkara;
4.      Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding;
5.      Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan;
6.      Salinan putusan, berita acara, dan surat-surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan banding;
7.      Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya denga perantaraan Panitera Pengadilan.
Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pihak pemohon sendiri. Akan tetapi, jika dicabut, permohonan banding tidak dapat diajukan lagi meskipun jangka waktu mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.[13] Setelah Pengadilan Tata Usaha Negara menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding, maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menjatuhkan putusan, Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara beserta berkas perkaranya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama[14].

c)      Kasasi
Perkataan “kasasi” (dalam bahasa Perancis cassation) berasal dari perkataan Perancis casser yang berarti “memecahkan” atau “membatalkan”. Tugas pengadilan kasasi adalah menguji (meneliti) putusan pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut[15]. Menurut soepomo, dalam buku Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata mengatakan, bahwa kasasi adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi[16].
Maka dapat disimpulkan, bahwa kasasi itu merupakan suatu upaya hukum biasa yang ada pada tingkat kedua, yang diajukan oleh pihak yang tidak merasa puas atas penetapan dan putusan dibawah Mahkamah Agung, baik mengenai kewenangan pengadilan kesalahan penerapan hukum kesalahan atau kelalain dalam cara-cara mengadili menurut syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan di Tingkat Kasasi sebagai upaya hukum biasa diatur dalam Pasal 131 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Semua permohonan kasasi dalam lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung mengajukan permohonan kasasinya kepada Mahkamah Agung, hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang terbaru UU No. 48 Tahun 2009. Mahkamah Agung bukan merupakan pengadilan tingkat ketiga, sehingga pemeriksaan tidak dapat dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ketiga. Mahkamah Agung (judex uiris) hanya melakukan penilaian yang menyangkut masalah penerapan hukumnya, tidak mengulang pemeriksaan mengenai fakta-fakta perkara. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, Mahkamah Agung memiliki kewenangan.[17]
Prosedur pengajuan kasasi kepada Mahkamah Agung ialah sebagai berikut[18]:
1.      Permohonan kasasi diajukan oleh para pihak yang bersengketa atau (para) kuasanya secara tertulis atau lisan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon;
2.      Permohonan tersebut diajukan melalui Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama) yang memutuskan perkara itu;
3.      Jika tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut terlampaui tanpa ada pengajuan permohonan kasasi oleh pihak yang bersengketa, maka pihak yang bersengketa dianggap telah menerima putusan;
4.      Pemohon membayar biaya pemeriksaan kasasi tersebut;
5.      Setelah pemohon membayar biaya perkara Panitera berkewajiban melakukan;
Ø  Mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar;
Ø  Pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara;
Ø  Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setalah permohonan kasasi terdaftar, Panitera memberikan secara tertulis mengenai permohonan;
Ø  Permohonan selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan tersebut dicatat dalam buku daftar, wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya;
Ø  Panitera memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam sengketa yang dimaksud dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari;
Ø  Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi (kontra memori kasasi) kepada Panitera dalm tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi;
Ø  Panitera mengirimkan seluruh berkas perkara (permohonan kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi, berkas yang lain) kepada Mahkamah Agung dalm tenggang waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari;
Ø  Panitera Mahkamah Agung bertindak:
·         Mencatat permohonan kasasi dalm buku daftar dengan membubuhkan nomor unit menurut tanggal penerimaannya
·         Membuat catatan singkat tentang isinya;
·         Melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung.
Setelah prosedur pengajuan permohanan kasasi selesai maka akan diperiksa oleh Mahkamah Agung, kemudian akan memberikan putusan kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan dan berkas perkara diterima Pengadilan Tinggi. Jika putusan dilakukan atas dasar alasan tersebut, maka Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu. Salinan putusan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama) yang memutus perkara tersebut.  
2.3 Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan setelah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), diantaranya adalah:
a)      Peninjauan Kembali
Terhadap suatu putusan Mahkamah Agung yang sudah memperoleh keuatan hukum tetap, maka upaya hukum selanjutnya yang bisa dilakukan dengan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut, sebagaimana terdapat dapat Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 menyatakan sebagai berikut[19]:
1)      Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2)      Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 mengatakan:
“Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan agama, atau oleh pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha Negara, digunakan hukum acara peninjauan kembali yang tercantum dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 75.”
Alasan pengajuan pemohonan peninjauan kembali sebagaimana tersirat dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagai berikut[20]:
1)      Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
2)      Apabila setelah perkara di putus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
3)      Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
4)      Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5)      Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenal suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan suatu dengan yang lain;
6)    Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu keliru yang nyata.    
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh pihak yang berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, maka permohonan tersebut akan dilanjutkan oleh ahli warisnya. Maka dari itu mengenai tenggang waktu mengajukan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari, hanya cara mulai melakukan perhitungannya berbeda-beda sesuai denga alasan mana yang digunakan pemohon sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 67 UUMA.
Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan yang memeriksa dalam Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding mengadakan pemeriksaan tambahan atau meminta segala keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud. Pengadilan setelah melaksanakan perintah mahkamah agung tersebut segera mengrimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangannya kepada mahkamah agung[21]. Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa serta memutuskan sendiri perkaranya. Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan.[22]
Setelah Mahkamah Agung menjatuhkan putusan, maka salinan putusan Mahkamah Agung tersebut dikirimkan kepada pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dan selanjutnya Panitera menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon serta memberitahukan putusan itu kepada pihak lawan dari pemohon dengan memberikan salinannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.[23]        
b)    Perlawanan pihak ke tiga (derdenverzet)
Istilah Verzet dalam Hukum Acara Perdata merupakan suatu uapaya hukum terhadap putusan verstek (putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat). Untuk menjatuhkan putusan verstek hakim harus memperhatikan ketentuan pasal 125 HIR terlebih dahulu. Sedangkan yang dimaksud verzet adalah perlawanan (dari) pihak ketiga. Memang pada asasnya putusan pengadilan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga. Namun tidak tertutup keungkinan ada pihak ketiga yang dirugikan oleh suatu putusan pengadilan. Oleh karena itu pihak yang dirugikan dapat mengajukan perlwanan ke Hakim Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.
Yahya Harahap menjelaskan, dalam praktiknya, tergugat sering mengajukan keberatan atas pennyitaan yang diletakkan terhadap harta kekayaannya dan tidak dihiraukan pengadilan atas alasan, sekiranya barang itu benar milik pihak ketiga, dia dapat mengajukan keberatan melalui upaya derdenverzet. Ternyata meskipun sita telah diletakkan di atasnya, tidak ada muncul perlawanan dari pihak ketiga, oleh karena itu cukup alasan untuk menduga, harta tersebut milik tergugat bukan milik pihak ketiga.[24]


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan, maka perlu alat atau sarana hukum untuk dapat memperbaiki putusan tersebut, yaitu yang dinamakan upaya hukum. Jadi, upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan pengadilan. Upaya hukum ini dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut pendapat penulis bahwa upaya hukum merupakan suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum.  
Dengan demikian untuk memperbaiki kekliruan tersebut, maka dari itu ada beberapa upaya hukum yang dilakukan dalam peradilan tata usaha Negara sebagai berikut, Upaya hukum biasa yang terdiri dari Perlawanan terhadap penetapan dismissal, Banding dan Kasasi serta Upaya hukum luar biasa yang terdiri dari Peninjauan kembali dan Perlawanan pihak ke tiga (derdenverzet).


Daftar Pustaka
Khairo, Hj. Fatria STP., S.H., M.H, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2016, Jakarta: Cintya Press.
Wiyono, R,  Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2013, Jakarta Timur: Sinar        Grafika.
Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2007, Jakarta: PT.              RajaGrafindo Persada.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha     Negara, 1996  Pustaka Sinar Harapan, Cetakan Keenam.
Setiadi, Wicipto, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan,       1994 Jakarta: Raja Grafindo.
Soetami, A. Siti, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2011, Bandung: PT.          Refika Aditama, Cetakan Ketujuh.
Makarao, Moh. Taufik, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, 2004, Jakarta: PT.     Rineka Cipta
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, dalam        Teori dan Praktek, 2009, Bandung: CV. Mandar Maju, Cetakan Kesebelas.
Sari, Elidar dan Hadi Iskandar, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha    Negara, 2014, lhokseumawe: CV Biena Edukasi.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, 2013, Cetakan ke 13: Sinar Grafika. 
Undang-Undang No 5 tahun 1986.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985


[1] Hj. Fatria Khairo, STP., S.H., M.H, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Cintya Press, 2016) Hlm 129
[2] Hj. Fatria Khairo, STP., S.H., M.H… Hlm 130
[3] R.Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta Timur: Sinar Grafika 2013, hlm. 202
[4] Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2007), Hlm 166
[5] Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang No 5 tahun 1986
[6] Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2007), Hlm 166-167
[7] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Cetakan Keenam, 1996, hlm. 153.
[8] Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994) Hlm 116
[9] A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung: PT. Refika Aditama, Cetakan Ketujuh, 2011) Hlm. 59
[10]  Hj. Fatria Khairo, STP., S.H., M.H, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Cintya Press, 2016) Hlm 132
[11] Pasal 123 ayat (1) Undang-Undang No 5 tahun 1986.
[12] Lihat Pasal 123-126 Undang-Undang No 5 tahun 1986.  
[13] Lihat Pasal 129 Undang-Undang No 5 tahun 1986.
[14] Lihat Pasal 127 (4) Undang-Undang No 5 tahun 1986.
[15] Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004). Hlm 189
[16] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, dalam Teori dan Praktek, (Bandung: CV. Mandar Maju, Cetakan Kesebelas, 2009) Hlm. 163
[17] Elidar Sari dan Hadi Iskandar, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (lhokseumawe: CV Biena Edukasi, 2014) Hlm 121-122.
[18] Elidar Sari dan Hadi Iskandar, op. cit., hlm. 122-123.
[19] Lihat Pasal 132 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[20] Lihat Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[21] Lihat Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[22] Lihat Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[23] Lihat Pasal 75 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[24] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata  (Cetakan ke 13: Sinar Grafika, 2013) Hlm 299

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stratifikasi Sosial

 Latar Belakang Masyarakat dengan segala aspek yang mencakup di dalamnya merupakan suatu objek kajian yang menarik untuk diteliti. Begitu...